Oleh: Muhammad Nurkhanif, M.S.I, Dosen Astronomi FSH UIN Walisongo/Pengelola Planetarium & Observatorium UIN Walisongo
Awal syawal di Indonesia untuk tahun ini diwarnai dengan adanya perbedaan atau khilafiyah. Dari informasi yang beredar bahwa sejumlah kelompok ormas atau aliran kepercayaan telah mengumumkan jatuhnya awal syawal 1444 H. Jamaah Tarekat Naqsabandiyah Al-Khalidiyah Jalaliyah di Sumatera Utara menetapkan 1 Syawal 1444 Hijriah, pada Kamis 20 April 2023, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah resmi menetapkan 1 Syawal 1444 H pada Jumat, 21 April 2023, NU: menggunakan rukyatul hilal yang akan diselengarakan pada tanggal 20 April 2023 pada saat Matahari terbenam. Dalam hal ini Pemerintah tetap menggelar sidang istbat pada pada tanggal 20 April 2023 dari hasil proses rukyatul hilal di seluruh titik di Indonesia.
Jika ditelaah maka sebenarnya potensi perbedaan tersebut bersumber dari pemahaman ‘illatu al hukmi penentuan awal dan akhir puasa dalam penggalan teks hadis “TERLIHATNYA” hilal. Selama ini penterjemahan kata tersebut adalah “ MELIHAT” hilal. Tentu terdapat beda efek /implikasi penterjemahan teks Nabi “li rukyatihi” antara karena MELIHAT dan karena TERLIHAT. Selain itu potensi perbedaan juga berakar pada cara pandang pemahaman teks wahyu (Al Qur’an & Al Hadis) penentuan awal dan akhir puasa Ramadhan dan juga perbedaan kriteria (hisab wujudul hilal, rukyat, rukyat plus Imkanurrukyat).
Ada lontaran pertanyaan, Hisab dulu atau saja atau rukyat saja?. Jawabannya adalah HARUS menggunakan hisab dan rukyat, hisab tanpa rukyat tidak ilmiah dan rukyat tanpa hisab menyesatkan. Maka jika dirasa hisab dan rukyat itu merupakan kegiatan ilmiah maka tenbtu harus mengikuti standar baku ilmiah. Metode ilmiah adalah suatu prosedur atau tata cara sistematis yang digunakan para ilmuwan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Metode ilmiah melibatkan pengamatan dan pengukuran yang cermat, pelaksanaan eksperimen, pengujian, dan modifikasi hipotesis.
Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah terutama menyangkut adanya teori yang menunjang serta sesuai dengan bukti. Kebenaran ilmiah memiliki tiga sifat dasar, yaitu yang pertama, struktur yang rasional-logis, kedua isi empiris, ketiga dapat diterapkan (pragmatis). Dalam kaca mata Filsafat ada beberapa jenis kebenaran. Jika dihubungkan dengan proses mencar hilal sebagai penanda pergantian bulan hijriyah maka Hisab memberikan faedah Ilmu al Yaqin, Rukyat memberikan faedah ‘ainu al Yaqin & Haqqul Yaqin sedangkan Sidang Istbat oleh pemerintah memberikan faedah Kamalu al yaqin (Jika mengakomodir aspek fiqh dan sains) hukmul hakim ilzamun wa yarfa'ul khilaf.
Kenapa mencari hilal harus disertai pengamatan di lapangan dan melibatkan indra mata?. Ini jawabannya; kurang lebih 196 kali kata Ra’a dan perubahan bentuknya digunakan dalam Al Qu’ran.
Kata ra’a Ketika disandingkan dengan kata hubung /huruf jer akan berbeda artinya dengan yang tanpa huruf jer (Lazim dan Muta’adi). Kata ra’a Ketika disandingkan dengan benda langit pasti Muta’adi, maknanya melihat secara langsung. Al an’am ayat 76-77 فَلَمَّا رَءَا ٱلْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَٰذَا رَبِّى , فَلَمَّا رَءَا ٱلشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَٰذَا رَبِّى هَٰذَآ أَكْبَرُ lalu surat Yusuf ayat 4 إِنِّى رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِى سَٰجِدِينَ.
Selain kata ra’a, terdapat juga kata syahida diartikan melihat, menemui secara langsung, mendapati
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ(al Baqarah ayat 185), kata “al Syahro” dimaknai hilal yang juga merupakan benda langit. Dalam hadis Nabi Saw pun tersebutkan kata ra’a yang menggunakan bentuk muta’adi
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ. Kata “hi” pada lafal لِرُؤْيَتِه adalah kata ganti yang Kembali kapada hilal / fase bulan (benda langit). Kesimpulan penjelasan di atas adalah bahwa kata Syahida dan Ra’a harus ada keterlibatan indrawi mata dan dalam bentuk muta’adi bukan lazim yang membutuhkan kata sambung.
Dari data falakiyah awal syawal 1444 H di Indonesia dapat diketahui bahwa parameter hilal terkecil terjadi di kota Merauke propinsi Papua (tinggi +1º 07’, elongasi 2º 07’ dan lama hilal 5 menit 32 detik). Sedangkan parameter hilal terbesar terjadi di kota Lhoknga propinsi Aceh (tinggi +2º 33’, elongasi 3º 48’ dan lama hilal 11 menit 18 detik) dengan ijtimak/konjungsi terjadi pada hari Kamis Legi 20 April 2023 M pukul 11:16:38 WIB.
Melihat informasi data astronomis hilal syawal 1444 H maka bagi pengamal rukyat dan imkanurrukyat dapat dipastikan tidak akan berhasil untuk mebdapatkan hilal sebab belum mencapai batas minimal kriteria baru MABIMS (3 derajat ketinggian hilal dan 6, 4 derajat elongasi). Berbeda dengan pengamal kriteria wujudul hilal maka hilal sudah dianggap wujud/ada di atas ufuk berapapun ketinggianya. Kembali pada poin yang telah disampaikan di atas, jika sebenarnya objek yang dibidik adalah terlihatnya hilal dan bagaimana cara dan proses melihatnya secara fiqih dan Sains. Maka tentu hisab dan rukyat itu jika merupakan sebuah proses ilmiah maka kebenaran perhitungan data astronomis hilal sebagai hipotesis awal harus dibuktkan dan diverifikasi di lapangan secara langsung dengan melibatkan indra mata. Berhasil atau tidaknya untuk mendapati hilal itu bergantung pada kondisi hilal itu sensdiri dan mempertimbangkan factor pendukung dan juga factor penghalang keberhasilan mendapati hilal terlihat.
Namun apapun metode, cara dan gaya pandang terhadap pennetuan awal syawal ini harus tetap mempertahankan aspek kemaslahatan dan menjunjung tinggi nilai kearifan, kebijaksanaan dan toleransi yang kuat. Wallahu ‘alam bi al Shawwab.
Editor : Miftahul Arief