get app
inews
Aa Text
Read Next : Polda Jateng Gelar Patroli Skala Besar, Tindak Tegas Tawuran dan Premanisme di Semarang

Sejarah Kaligawe, Perlawanan Warga Semarang Tolak Retribusi yang Dikenakan Polisi Belanda

Minggu, 17 Maret 2024 | 06:15 WIB
header img
Kawasan Kaligawe Semarang saat terendam banjir. (IST/IG)

SEMARANG, iNewsSemarang.idSejarah Kaligawe mengingatkan momen bentrokan sengit di sekitar pos polisi (posis) Genuk (perbatasan Semarang-Demak) antara para kusir yang mengangkut hasil bumi dari Genuk, Pedurungan dan Demak, dengan polisi Belanda pada tahun 1935

Bentrokan dipicu warga pribumi yang menolak retribusi atau tarif yang dikenakan oleh polisi Belanda kepada para kusir yang akan masuk wilayah Semarang. Kemungkinan para kusir hendak mengantar hasil bumi ke Pasar Johar waktu itu.

Dalam bentrokan tersebut, empat polisi Belanda dilaporkan meregang nyawa karena sabetan senjata tajam. Peristiwa yang dikenal masyarakat sebagai “geger Kaligawe” dimuat di koran Pemandangan, dan menjadi koleksi perpustakaan nasional.

Disebutkan dalam koran tersebut, ada empat orang meninggal dalam insiden tersebut. Namun tidak dijelaskan korban yang meninggal dari para kusir atau Belanda. Bentrokan tersebut dipimpin oleh Soekaini, dan mendapat dukungan dari para kusir.

Akibat insiden tersebut, Soekaini divonis 10 tahun penjara oleh pengadilan Bumiputra di tingkat pertama (Landraad).  Kemudian diperberat menjadi 12 tahun penjara di tingkat banding di Van Justice te Semarang.  Lima orang lainnya divonis 5 tahun dan diperberat menjadi 8 tahun dalam pengajuan banding.

Salah satu rekan Soekani adalah Kardiman Dogol, yang didakwa menebas tangan orang Belanda bernama De Boer, dengan arit. Vonis terhadap Soekani cs itu  dimuat dalam koran De Locomotief yang terbit pada 28 April 1936.

Selain bekerja sebagai kusir, Soekaini menurut keterangan warga Tanggulaangin Genuk, dulunya adalah seorang yang dikenal jago silat.

Mbah Soekaini meninggal sekitar 1965 dan jenazahnya dimakamkan di pemakaman Ibrahim Fatah di Jalan Woltermonginsidi, wilayah Kecamatan Genuk Semarang.

Menurut penuturan Mbah Juki, anak keempat dari Mbah Sukaini, ayahnya saat kejadian memimpin rombongan kusir. Para kusir biasanya membawa senjata tajam berupa pedang yang disimpan di belakang delman.

“Sampai di Kaligawe, Belanda menyerang.  Yang depan bapak saya, dan dari Belanda ada yang tangannya putus. Karena kusir tidak mau membayar tarif terjadilah bentrokan itu. Para kusir Ditembaki oleh tentara Belanda,” ujar di kanal Youtube J Christiono, dikutip Rabu (17/8/2022).

Pada saat terjadi geger Kaligawe, Mbah Juki saat itu masih duduk di Sekolah Rakyat, sekarang setara SD.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, orang-orang masih banyak yang datang ke rumah Sukaini. Selama ini Sukaini juga melatih silat dan mengajar ngaji.

“Ada gemblengan, batu besar dibrukke. Mbah Soekaini jago silat, tidak tahu punya ilmu apa,” ujar Juki.  

Editor : Ahmad Antoni

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut