SEMARANG, iNewsSemarang.id – Kiprah Umar dalam meniti karier dari seorang guru hingga menjadi kepala sekolah menarik untuk diulas. Pak Umar, sapaan akrabnya, pernah menjadi kepala sekolah di tiga SMP Negeri di Kota Semarang.
Yakni SMPN 24, SMPN 38 dan SMPN 27. Pengabdiannya di SMP Negeri 27 kini tinggal menghitung hari. Ya, pria kelahiran 7 Maret 1964 akan resmi memasuki purna tugas pada 1 April 2024.
Seperti apa sosok dan kiprah Pak Umar selama mengabdi sebagai guru hingga kepala sekolah? Kepada iNewsSemarang.id, pria yang hobi sepak bola ini menceritakan perjalanan karier kali pertama menjadi guru.
Dia mengawali profesi guru di sekolah swasta pada tahun 1987. “Saat itu saya mengajar sekolah swasta di Semarang hanya setahun, kemudian pindah di SMA swasta hampir 3 tahun. Dalam proses mengajar di sma swasta itu saya mengikuti tes CPNS 1989. Sekali ikut saya diterima,” ungkap Umar.
“Sebelum tes saya pernah sharing dengan bapak, karena saya itu asyik berada di sekolah swasta. Ya maaf dari sisi gaji cukup besar. Sehingga pada saat makan malam, beliau memberikan logika, apa saklawase neng (selamanya di) swasta, nak ning swasta kwi ibarat kita berdiri di atas duri, suatu ketika kita jatuh makalah sakit,” ungkapnya.
Ayah Umar merupakan pensiunan tentara yang tiap bulannya menerima pensiun. Dia mengaku pada saat sang ayah menyampaikan wejangan tersebut telah membuka wawasannya untuk melangkah ke masa depan.
“Akhirnya tahun 89 ikut tes. Pada tahun 1990 SK turun, penempatan saya pertama di SMPN 1 Gringsing Batang. 10 tahun dalam perjalanan di sana mungkin kehidupan di desa dan kota beda. Di kota itu ada keteraturan, di daerah anak-anak yang jarang mematuhi aturan, sehingga bekerja keras bisa mengingatkan anak agar lebih disiplin, tertib. Karena itu modal awal keberhasilan untuk memperjuangkan mereka,” ujar Umar.
Pada Januari 1991, dia mengajar IPS kelas 2. Kemudian setengah tahun kenaikan kelas dia diberikan kepercayaan jadi wali kelas selama 2 tahun berturut. Di tahun ketiga, lanjut dia, ada keinginan teman-temannya diadakan reorganisasi kepemimpinan.
“Saya dicalonkan untuk menjadi pembina OSIS (wakil kepala sekolah bidang kesiswaan). Saya menyadari orang baru 2,5 tahun tahu-tahu diminta menjadi pembantu pimpinan, wakil kepala sekolah sampai pada saatnya saya mau mutasi ke Semarang,” katanya.
Dia mengungkapkan alasan keinginan pindah ke Semarang yakni karena ayahnya meninggal. “Sedangkan ibu sendiri, sehingga saya mendampingi ibu mengurus administrasi pensiunan bapak.
Akhirnya dia mengundurkan diri sebagai wakil kepala sekolah sambil menunggu SK mutasi dari SMPN 1 Gringsing ke Semarang. “Memang saya masuk Semarang (SMPN 17) pada tahun 2000. Alasannya saya simple, rumah dekat dengan sekolah,” ujar Umar.
Dia menyampaikan, sebelum proses mutasi dirinya datang ke SMP 17 menanyakan adakah formasi untuk mutasi guru IPS. “Dari apa yang disampaikan pihak sekolah memang ada formasi itu. Di SMP 17 saya jadi wali kelas ditambah jabatan lain seperti urusan sarpras, kurikulum,” sebutnya.
Saat di SMP 17 selama 2 tahun dia diminta kepala sekolah agar ikut tes calon kepala sekolah pada tahun 2002. Saat itu dia mengaku sempat ragu karena merasa kurang percaya diri.
“Sebenarnya saya ragu-ragu, terus terang saya guru ndeso. Artinya kalau saya bandingkan dengan teman-teman di Semarang, saya jauh tertinggal. Dari sisi DUK masih yunior, sisi pengalaman mereka lebih pengalaman dari saya, tapi karena tugas ya harus dilaksanakan,” ungkapnya.
Dari sekitar 93 guru, dia dapat ranking 31 tapi tidak lolos. Itulah pengalaman pertama yang dilakoni Pak Umar. Menurutnya, dari hasil tersebut dia merasa mampu berkompetisi dengan guru di Kota Semarang. “Sebagai new comer,saya diberi kesempatan ikut tes calon kepala sekolah. Saya tidak berada di kelompok tengah ke bawah, tapi ke atas. Kepercayaan saya semakin tinggi untuk berani,” ujarnya.
Umar menceritakan ketika tes pertama gagal, dia disuruh lagi mengikuti tes calon kepala sekolah tahun 2004. “Alhmadulillah ada beberapa tingkatan dalam bentuk seleksi calon kepsek yakni tes tertulis, psikologi, wawancara. Dari 3 tes itu saya ikuti dan lolos 21 calon kepsek,” ungkapnya.
Penempatan pertama tahun 2005, yang terangkat ada 18, namun tiga belum terangkat termasuk dirinya. Perjalanan waktu 2007 ada pengangkatan hanya dua. “Baru saya tahun 2009 saya angkatan terakhir dari angkatan saya. 2009 pada saat ada pengangkatan 4 kepala sekolah baru. Penempatan pertama sebagai kepala sekolah SMP 24 tahun 2009, kurang lebih selama 3 tahun,” ujar Umar.
“Kemudian saya dimutasi di SMP 38 di bubakan, selama sekitar 5,5 tahun, pada tahun 2018 sampai 2024 mengabdi di SMPN 27. Sehingga sampai saya pensiun, nanti masa kedinasan 34 tahun, masa kerja kepala sekolah 14 tahun di 3 SMP definitif. Jadi guru 20 tahun. Juga pernah jadi Plt SMPN 17, Plh di SMPN 33,” sebutnya.
Pada 1 April 2024, Pak Umar harus mengakhiri kiprah saya sebagai PNS selama 34 tahun mengabdi. Dia mengungkapkan bahwa dulu awalnya tak punya gambaran sebagai seorang guru. Dia lebih menyukai hukum. “Waktu itu saya nonton tokoh-tokoh hukum, seperti Adnan Buyung Nasution, M Assegaf dan sebagainya, itu kan tokoh hebat pendekar hukum,” ujar pecinta makanan tradisional food ini.
Dia juga menceritakan jika dirinya juga sempat daftar di perguruan tinggi. Namun saat ikut seleksi di PTN ternyata tak lolos. “Saya ikut tes (dulu PP1 PP 4/keguruan). Pada saat mau masuk ke IKIP, saya sempat bingung saat ambil formulir mau ambil jurusan apa karena kalau saya mengambil olahraga, tapi gak bisa berenang, saya takut bayangan itu,” kata Umar.
“Akhirnya saya pindah jurusan, saya ambil sejarah. Waktu itu sudah bayar uang kuliah PTS, waktu itu dibayar 50 persen. Tapi kakak ipar saya datang ke rumah menyampaikan ke bapak saya, saran pilih keguruan, kakak guru. Saya melihat ke bapak saya. Akhirnya saya mundur dari swasta. Akhirnya saya ke IKIP (sekarang Unnes) Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial jurusan Sejarah masuk tahun 1983. Tahun 1987 lulus lalu mengajar di sekolah swasta,” ceritanya.
Umar mengaku selama menjalani profesi sebagai guru cukup menyenangkan karena selalu ada yang baru. “Sejak jadi guru baik swasta maupun negeri tetap konsisten, tidak pernah terpengaruh dengan kondisi lingkungan yang ada. Rata-rata anak yang saya ajar dari dulu sampai sekarang katanya saya disiplin tapi juga humanis,” tegasnya.
“Keseharian saya berangkat pagi, memperhatikan penampilan anak-anak dari ujung rambut sampai kaki, kalau rambut panjang tak rangkul, kalau ga pakai dasi saya ingatkan, kalau ga pakai seragam. Bahkan tali sepatu pun juga saya perhatikan, tanpa menggunakan Tindakan bersifat kekerasan. Hal seperti meninggalkan kesan ke siswa,” ujar Umar yang memiliki motto hidup harus dinikmati dengan bahagia.
Dia mencontohkan ketia dia pernah ditelepon bekas muridnya. “Ada murid saya (30 tahun lalu) menelepon saya untuk ditraktir durian tanpa dia hadir. Saat itu saya hanya menemui penjual duriannya, tinggal makan. Itu luar biasa, saya nggak nyangka sampai ke sana,” kenang Umar.
“Kebaikan kita yang kita tanamkan ke anak itu akan sepanjang hayat akan mereka bawa dan tanpa kita harapkan suatu ketika akan mendapat suatu balasan yang setimpal,” katanya.
Editor : Ahmad Antoni