Kisah Sultan HB IX, Raja Yogyakarta yang Donasikan Uang Pribadi untuk Bayar Gaji Pegawai Indonesia

JAKARTA, iNews.id - Indonesia pascakemerdekaan tidak bisa dipisahkan dari peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Raja Yogyakarta ini bergabung dengan Indonesia meskipun secara politik dan ketatanegaraan, Yogyakarta sebenarnya memiliki potensi untuk mendirikan negara sendiri.
Kebijaksanaan Sultan HB IX membuat Yogyakarta akhirnya bergabung dengan Indonesia. Terlebih lagi, setelah kemerdekaan, terjadi beberapa pergolakan yang memaksa pemerintah untuk pindah ke Yogyakarta.
Konon, Sultan HB IX menyumbangkan kekayaan pribadinya untuk menggaji pegawai Indonesia di awal kemerdekaan.
Saat itu, kondisi ekonomi Indonesia belum stabil, ditambah dengan agresi militer Belanda dan sekutunya setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Menurut buku "13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa," karakter dan sikap politik Sri Sultan HB IX terhadap bangsa Indonesia menjadi teladan masyarakat Yogyakarta hingga kini. Ia mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompok demi keutuhan Indonesia.
Kewibawaan Sultan HB IX terlihat saat beliau menggaji pegawai dengan uang pribadinya. Uang pribadi Sultan Yogyakarta tersebut diberikan kepada seluruh pegawai Republik yang belum mendapatkan gaji.
Sikap Sri Sultan HB IX juga terbukti ketika beliau menyerahkan cek senilai 6 juta gulden kepada Soekarno-Hatta sebagai modal awal Republik Indonesia.
Penyerahan cek ini disaksikan oleh Jusuf Ranadipura saat Sultan HB IX mengadakan konsultasi dengan Soekarno-Hatta di Bangka pada tahun 1948.
Sebagai negarawan yang harus menyelamatkan negara, Sri Sultan HB IX rela menjadikan Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia ketika terjadinya Agresi Militer Belanda I di Jakarta.
Lebih dari itu, karakter kenegarawanannya terlihat saat beliau menggagas penyelamatan Daerah Istimewa Yogyakarta, ibu kota Indonesia dari Agresi Militer Belanda II melalui serangan umum yang dilaksanakan oleh Letnan Kolonel Soeharto pada 1 Maret 1949.
Karakter jujur Sri Sultan Hamengkubuwana IX juga terlihat ketika beliau menolak dicalonkan sebagai Wakil Presiden periode 1978-1983.
Saat itu, beliau melihat gejala KKN di kalangan pejabat pusat yang mulai tampak pada tahun 1978. Sikap tegas dan bijaksana ini mencerminkan ajaran Jawa, "Aja cedhak kebo gupak!" yang berarti "Jangan mendekati kerbau yang kotor oleh lumpur."
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta