Opini oleh: Ahmad Bahauddin. AM, Dosen Syariah UIN Raden Fatah Palembang.
Al-Quran menyebutkan lafadz puasa sebanyak 13 kali, tentu dengan memiliki term atau bentuk kata yang berbeda-beda, diantaranya yaitu : shiyam (صيام) disebut sebanyak 9 kali, shaum(صوم) sebanyak 1 kali, wa an tashumu (وان تصوموا) sebanyak 1 kali , falyasumhu (فليصمه) sebanyak 1 kali, serta shaimin dan shaimat (الصائمين والصائمات) sebanyak 1 kali. Lafadz tersebar tersebar dalam 6 surat, yaitu al-Baqarah, an-Nisa, al-Maidah, Maryam, al-Ahzab dan al-Mujadilah.
Prof. Dr. KH. Said Agil al-Munawar menjelaskan dalam kajiannya menjelang shalat tarawih di masjid Istiqlal Jakarta, bahwa pemaknaan lafadz puasa yang ada di dalam al-Quran ternyata tidak semuanya berbicara tentang puasa Ramadan. Melainkan Ada juga yang terkait dengan pembayaran diyat, kafarat, dan lainnya.
Pada kali ini penulis ingin mengklasifikasi lafadz puasa dengan empat macam pemaknaan. 1) lafadz puasa yang bermakna puasa Ramadan, 2) lafadz puasa bermakna sanksi (hukuman), 3) lafadz puasa bermakna pemeliharaan jiwa dan 4) lafadz puasa yang bermakna imbalan.
Pertama, Khusus berbicara puasa ramadan hanya terdapat pada 5 kata dalam surat al-Baqarah yaitu ayat 183, 184, 185, dan 187. Pada ayat 183 Allah berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
di ayat 184 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
di ayat 185 berbunyi :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ
“Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, maka berpuasalah“.
dan di ayat 187 ada 2 kata terkait lafadz puasa, yaitu :
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ
“Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu”.
Pada potongan ayat ini sejatinya berbicara mengenai konteks kehalalan bagi pasangan suami-isteri untuk berhubungan (jima’) di malam bulan Ramadan, serta diharamkan bagi pasangan suami-isteri tersebut berhubungan badan di siang hari pada bulan Ramadan.
Kemudian pada terusan ayatnya berbicara mengenai waktu lamanya puasa, yaitu:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ
“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam“.
Maka, pemaknaan lafadz puasa di dalam surat al-Baqarah ayat 183, 184, 185 dan 187 secara keseluruhan berbicara mengenai puasa di bulan Ramadan.
Kedua, Pemaknaan lafadz puasa bermakna sanksi (hukuman) baik itu fidyah, kafarat maupun diyat. Terdapat pada surat al-Baqarah ayat 196, disebutkan 2 kali lafadz puasa dengan menggunakan bentuk kata yaitu shiyam (صيام). Pertama, Lafadz puasa pada ayat 196 menjelaskan perihal ritual ibadah haji yaitu bagi mereka yang tidak bisa menyempurnakan ibadah haji karena alasan tertentu, maka baginya ada fidyah (tebusan), sebagaimana bunyi ayatnya :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ بِه اَذًى مِّنْ رَّأْسِه فَفِدْيَةٌ مِّنْ صِيَامٍ اَوْ صَدَقَةٍ اَوْ نُسُكٍ
“Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalu dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban”.
Dijelaskan dalam tafsir ringkas Kementerian Agama, bahwa ayat ini berbicara mengenai pelaksanaan ibadah haji. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya lalu dia bercukur sebelum selesai melaksanakan salah satu dari rangkaian manasik haji, maka dia wajib membayar fidyah atau tebusan yaitu dengan memilih salah satu dari berpuasa, bersedekah atau berkurban supaya kamu bisa memilih fidyah yang sesuai dengan kemampuan kamu.
Sedangkan pada lafadz yang kedua yaitu lanjutan dari ayat di atas :
فَاِذَآ اَمِنْتُمْ ۗ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ اِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
“Apabila kamu dalam keadaan aman, siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna”.
Ayat ini berbicara terkait haji tamattu’ (mendahulukan umrah daripada haji pada musim haji yang sama). Maka konsekuensinya bagi seseorang yang melaksanakan haji tamattu’ ialah dia wajib menyembelih hadyu (hewan ternak di tanah haram Makkah pada Idul Adha dan hari-hari Tasyrik) yang mudah didapat di sekitar Masjidilharam. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya yakni tidak mampu dan tidak memiliki harta senilai binatang ternak yang harus disembelih, maka dia wajib berpuasa tiga hari dalam musim haji dan tujuh hari setelah kamu kembali ke tanah air. Itu seluruhnya sepuluh hari secara keseluruhan.
Kemudian lafadz puasa juga ditemukan di surat an-Nisa ayat 92:
وَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِۖ تَوْبَةً مِّنَ اللّٰهِ.
“Jika dia (terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, (hendaklah pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya serta memerdekakan hamba sahaya mukmin. Siapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya) hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai (ketetapan) cara bertobat dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat ini tidak menceritakan puasa Ramadan dan juga tidak pula menceritakan terkait masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah haji. Tetapi kata shiyam di ayat ini menjelaskan terkait tindak pidana pembunuhan dalam islam. Ketika diyat yang diterimanya tidak mampu dilaksanakannya, maka puasa menjadi alternative penggantinya. Yaitu puasa 2 bulan berturut-turut tidak boleh putus, sebagai bentuk taubatnya kepada Allah SWT.
Lafadz puasa juga ditemukan di surat al-Maidah ayat 89 dan 95. Pada Ayat 89 menceritakan tentang Kaffarat bagi orang yang bersumpah atas nama Allah, tapi ia ingkar kepada sumpahnya, maka ia dikenakan kaffarat. Lantas kafaratnya apa?, dijelaskan di dalam ayat :
فَكَفَّارَتُه اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ ۗفَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ
“Maka, kafaratnya (denda akibat melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang (biasa) kamu berikan kepada keluargamu, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasa tiga hari”.
Sedangkan pada surat al-Maidah ayat 95, kembali bercerita mengenai ibadah haji. Yaitu orang yang sedang menggunakan pakaian ihram & sudah berniat, maka dia tidak boleh berburu/membunuh binatang. Jika seseorang tersebut kemudian membunuh hewan buruan maka dendanya ialah mengganti hewan yang sepadan dengan yang dibunuh, jika tidak mampu maka memberi makan orang miskin, dan jika tidak mampu lagi maka berpuasa.
اَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسٰكِيْنَ اَوْ عَدْلُ ذٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوْقَ وَبَالَ اَمْرِه
“atau (membayar) kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa, seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu”.
Lafadz puasa juga terdapat di surat al-Mujadilah ayat 4, yaitu memiliki penjelasan masih terkait sanksi. Yakni menjelaskan terkait hukum islam yaitu zihar. Bagi seseorang yang melakukan zhihar maka ada hukuman baginya yaitu memerdekakan budak, jika tidak mampu maka puasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu lagi maka memberi makan 60 orang miskin.
فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَاۤسَّاۗ فَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَاِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًاۗ
“Siapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya) wajib berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya berhubungan badan. Akan tetapi, siapa yang tidak mampu, (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin”.
Ketiga, pemaknaan lafadz puasa terkait pemeliharaan jiwa. Terdapat pada surat Maryam yaitu dalam konteks cerita Maryam, dijelaskan bahwa Maryam hamil tanpa adanya pernikahan, maka Maryam pun merasa gelisah atas peristiwa tersebut. Akhirnya Allah SWT berfirman :
فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّا ۚ
“katakanlah, Sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini”.
Puasa pada ayat ini diartikan dengan puasa berbicara, karena ucapanku (Maryam) itu mungkin ditolak dan tidak dipercaya.
Keempat, pemaknaan lafadz puasa terhadap imbalan bagi yang melaksanakannya. Yaitu terdapat pada sura al-Ahzab ayat 35. Allah menceritakan perihal konsekuensi yang diterima oleh para shaimin (orang laki-laki yang berpuasa) dan shaimat (orang perempuan yang berpuasa). Orang yang berpuasa bagi laki dan perempuan akan diberikan pengampunan terhadap dosanya dan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah SWT.
…….. وَالصَّاۤىِٕمِيْنَ وَالصّٰۤىِٕمٰتِ وَالْحٰفِظِيْنَ فُرُوْجَهُمْ وَالْحٰفِظٰتِ وَالذّٰكِرِيْنَ اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّالذّٰكِرٰتِ اَعَدَّ اللّٰهُ لَهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا
“……….. laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kemaluannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, untuk mereka Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala yang besar”.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pemaknaan lafadz puasa yang terdapat di dalam al-Quran memiliki makna yang sangat variatif, tidak semuanya berbicara mengenai puasa Ramadan, melainkan terkait perihal-perihal lain di luar puasa Ramadan. Wallahu ‘alam bisshowab.
Editor : Miftahul Arief
Artikel Terkait