SEMARANG, iNewsSemarang.id – Sosok Ratu Kalinyamat menjadi legenda bagi masyarakat Jepara, Jawa Tengah. Putri bangsawan Demak, Sultan Trenggana, atau cucu dari Raden Patah sang pendiri kasultanan Demak, lahir dengan nama Retna Kencana. Ia menjadi bupati pertama Jepara (1536-1569).
Kebesaran Ratu Kalinyamat pernah digambarkan penulis Portugis Diego de Couto, sebagai “Rainha de Japara, senhora paderosa e rica” yang berarti Ratu Jepara, seorang wanita kaya dan sangat berkuasa, dikarenakan selama 30 tahun kekuasaannya ia telah berhasil membawa Jepara ke puncak kejayaannya (Diego de Couto, 1778-1788).
Ratu Kalinyamat yang dikenal berani, tegas, dan tidak pernah takut mati ini kelak yang menjadi penyebab terpenggalnya kepala Arya Penangsang.
Suatu ketika Ratu Kalinyamat mendatangi Sunan Kudus untuk menanyakan kematian kakaknya, Sunan Prawata yang merupakan raja keempat Kerajaan Demak.
Dikutip dari buku "Perempuan-Perempuan Tangguh Penguasa Tanah Jawa" karya Krishna Bayu Adji dan Sri Wintala Achmad, Ratu Kalinyamat menemukan keris Kiai Betok milik Sunan Kudus menancap pada jasad kakaknya, Sunan Prawata.
Dia lantas menuju Kudus bersama suaminya, Pangeran Hadiri untuk meminta penjelasan kepada Sunan Kudus terkait kematian sang kakak. Oleh Sunan Kudus, Ratu Kalinyamat mendapat keterangan bahwa kematian Sunan Prawata adalah suatu kewajaran, karena ia pernah membunuh Pangeran Sekar Seda Lepen yang merupakan ayah Arya Penangsang.
Mendengar jawaban dari Sunan Kudus ini, Ratu Kalinyamat kecewa dan memutuskan untuk segera pulang ke Jepara. Di tengah perjalanan, dia dan suaminya dikeroyok oleh anak buah Arya Penangsang. Suaminya, Pangeran Hadiri sempat merambat di tanah dengan sisa-sisa tenaganya sebelum akhirnya tewas.
Ratu Kalinyamat pun membawa jenazah suaminya Pangeran Hadiri pulang meneruskan perjalanan menyeberangi sungai. Darah tiba-tiba keluar dan mengalir dari jenazah Pangeran Hadiri itu.
Ritual buka luwur atau mengganti kain penutup makam di kompleks Makam Mantingan yang terdapat makam Ratu Kalinyamat, Pangeran Hadlirin, R.A. Prodo Binabar, dan Dewi Wuryan Retnowati, digelar setiap Hari Jadi Jepara. Foto: dok. Humas Pemkab Jepara
Dikisahkan bahwa darah itu berwarna ungu yang membuat air sungai berwarna ungu. Sungai tersebut saat ini dikenal dengan nama Kaliwungu. Setelah melintasi daerah Pringtulis, Ratu Kalinyamat yang merasa kelelahan akibat langkah kakinya kemudian mulai berjalan sempoyongan. Lokasi Ratu Kalinyamat berjalan sempoyongan itu kelak dikenal dengan nama Desa Mayong.
Ratu Kalinyamat terus berjalan sambil membawa jenazah suaminya yang tewas dikeroyok oleh anak buah Arya Penangsang. Dia membawa jenazah suaminya melintasi Pecangan hingga Mantingan.
Hingga akhirnya dia mengucapkan sumpah yang didengar oleh Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang, yang segera bertindak untuk membalaskan dendam Ratu Kalinyamat kepada Arya Penangsang. Dia membuka sayembara, siapa yang berhasil memenggal kepala Arya Penangsang mendapat tanah Pati atau bumi Mentaok.
Berkat kecerdasan Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Ageng Penjawi, yang mendapat dukungan dari Danang Sutawijaya, putra Ki Ageng Penjawi yang dipungut oleh Sultan Hadiwijaya sebagai anak angkat, pasukan Pajang berhasil memenangkan hadiah sayembara berupa tanah Pati dan bumi Mentaok. Mereka berhasil memenggal kepala Arya Penangsang dan menyerahkannya kepada Sultan Hadiwijaya di Pajang.
Sesudah berkeset kepala Arya Penangsang, Ratu Kalinyamat yang mengakhiri tapa wuda asinjang rikma-nya itu, dia menjadi Bupati Jepara di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang. Kendati demikian, Sultan Hadiwijaya tetap menghormati Ratu Kalinyamat sebagai sesepuh yang pantas diluhurkan.
Editor : Sulhanudin Attar
Artikel Terkait