JAKARTA, iNewsSemarang.id - Sejak menjabat sebagai Perdana Menteri dan Presiden Rusia, sejumlah perang pernah dilakoni Vladimir Putin sebelum melakukan invasi ke Ukraina. Umumnya, oerwng yang dilakukan negara Beruang Merah ini terkait wilayah bekas jajahan Uni Soviet.
Perang pertama saat Putin menjabat pemimpin di Rusia dilakukan di Suriah. Seperti diketahui, Putin merupakan sekutu dekat Presiden Suriah Bashar Al Assad. Pasukan Rusia mulai terlibat di Suriah pada 2015 sejak perang saudara pecah pada 2011.
Chechnya
Republik Chechnya dikuasai Soviet sejak 1850-an dan sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam. Masyarakat negara itu kecewa dengan pemerintahan komunis Uni Soviet. Pada 1991, salah satu tokoh Chechnya, Dzhokhar Dudayev, mendirikan Republik Ichkeria Chechnya yang anti-Rusia.
Presiden Rusia saat itu Boris Yeltsin tidak ingin ada separatisme di wilayah federasi Rusia. Dia menganggap Chechnya masih menjadi bagian federasi Rusia.
Sejarah mencatat, Rusia melakukan invasi besar ke Republik Chechnya pada Desember 1994. Invasi ini dianggap sebagai yang terbesar setelah keruntuhan Soviet pada 1991. Chechnya diketahui memiliki sumber daya alam melimpah berupa minyak. Hal itu yang sebenarnya ingin diamankan Yeltsin. Namun, karena tidak memiliki dana untuk membiayai kelompok oposisi Chechnya, Rusia memutuskan untuk melakukan invasi.
Pasukan Rusia mendapat perlawanan sengit dari warga Chechnya dalam Perang Chechnya I. Kedua pihak terlibat pertempuran sengit di Ibu Kota Grozny. Selama hampir 2 tahun konflik berlansung, sekitar 6.000 tentara Rusia dilaporkan tewas. Namun penduduk Chechnya yang menjadi korban jiwa jauh lebih banyak, yakni diperkirakan 50.000 orang.
Pada 1996, Chechnya kembali merebut Grozny setelah setahun dikuasai Rusia. Di tahun selanjutnya, kedua pihak meneken perjanjian damai dan menjadikan Chechnya sebagai negara merdeka secara de facto. Namun demikian, negeri itu masih menjadi bagian dari Rusia.
Yeltsin kembali memerintahkan pasukannya untuk menginvasi Chechnya pada 1999. Keputusan itu diambil setelah kelompok militan Chechnya dituduh sebagai dalang pengeboman di Moskow dan beberapa kota Rusia lain.
Vladimir Putin yang kala itu menjabat perdana menteri memimpin tanggapan militer terhadap Chechnya. Keterlibatan militer Rusia di Chechnya juga ditingkatkan, mengingat beberapa kota di Rusia masih diserang bom oleh militan.
Georgia
Perang selanjutnya di masa pemerintahan Putin adalah Georgia yang berlangsung pada Agustus 2008. Saat itu Putin menjabat perdana menteri, di bawah Presiden Dmitry Medvedev.
Latar belakang perang ini agak mirip dengan konflik Ukraina yakni dilatarbelakangi oleh kelompok separatis di Georgia yang pro-Rusia.
Sebelum itu terjadi pertempuran antara pasukan Georgia dengan kelompok separatis Ossetia Selatan yang pro-Rusia. Pada 7 Agustus Georgia melancarkan operasi militer kejutan untuk merebut Tskhinvali, ibu kota Ossetia Selatan.
Serangan itu juga sebagai respons atas serangan separatis terhadap sebuah desa di Georgia. Sehari kemudian, Rusia membantu kelompok separatis Ossetia Selatan dengan mengirim tentara ke Georgia disertai kendaraan tempur, seperti tank dan artileri ke Tskhinvali.
Dmitry Medvedev mengatakan tujuan negaranya mengerahkan pasukan adalah untuk melindungi penduduk Ossetia Selatan yang memiliki status warga negara Rusia.
Pada 10 Agustus, Georgia menarik mundur pasukannya dari Ossetia Selatan dan meminta gencatan senjata, namun Georgia melanggarnya dengan tetap melakukan serangan.
Rusia pun semakin memperluas kehadirannya di Georgia dengan maju ke wilayah-wilayah yang tidak diperselisihkan di luar Ossetia Selatan dan Abkhazia.
Suriah
Perang sipil atau perang saudara pecah di Suriah mulai 2011. Negara Timur Tengah itu menghadapi suhu panas politik dalam negeri yang mendorong terjadinya perang saudara.
Keterlibatan Rusia dalam perang Suriah dimulai pada 2015 atas permintaan Presiden Bashar Al Assad. Pada 30 September 2015, majelis tinggi parlemen Rusia menyetujui permintaan Vladimir Putin untuk mengirim Angkatan Udara (AU) ke Suriah. Rusia menggelar serangan udara pertama terhadap gerilyawan anti-Assad pada 30 September 2015.
Sebelumnya, saat pemerintahan Suriah Hafez Al Asaad, Rusia menyediakan dan mengirim peralatan militer ke Suriah. Meskipun hubungan kedua negara sempat renggang lantaran ketidakmampuan Suriah membayar utang, hal itu bisa dibenahi pada 1994 melalui pembaharuan kebijakan.
Langkah membantu Suriah dalam perang sipil untuk menunjukkan bahwa Rusia ingin diperhitungkan sebagai negara yang memiliki kemampuan mumpuni di bidang militer dan politik dunia. Meskipun dalam sisi ekonomi, Rusia masih tertinggal dari Amerika Serikat.
Di sisi lain, banyak pengamat beranggapan campur tangan Rusia tak jauh dari hasil kunjungan tokoh besar Iran, Qasem Soleimani, ke Moskow pada Juli 2015. Dilaporkan Soleimani berhasil meyakinkan Putin untuk mengirim pasukan militer ke Suriah.
Rusia bahkan juga menampung para pengungsi Suriah di beberapa kota seperti Moskow dan St Petersburg.
Editor : Agus Riyadi
Artikel Terkait