SEMARANG, iNewsSemarang.id - Kisah heroik perjuangan pemuda dan rakyat merebut Kota Solo dari pendudukan penjajah Belanda patut menjadi semangat dan inspirasi bagi generasi penerus masa kini.
Peristiwa Serangan Umum Empat Hari di Kota Solo dipelopori Tentara Pelajar (TP), sebuah barisan pejuang di kalangan pelajar.
Pertempuran pada 7-10 Agustus 1949 awalnya dirancang dan dipimpin oleh Letkol Slamet Riyadi dan Mayor Achmadi dari TNI Brigade 17 Det 2, Brigade V SA-CSA masa itu untuk merebut Kota Solo dari penguasaan Tentara Belanda.
Pasukan Gerilya menyerbu Kota Solo sejak tanggal 7 Agustus 1949 dan lebih populer dengan sebutan Serangan Oemoem, sebuah serangan yang merupakan puncak rangkaian serangan sebelumnya, sejak Serangan Umum pertama tanggal 8 Februari 1949 yang dilanjutkan dengan Serangan Umum yang kedua tanggal 2 Mei 1949.
Anak-anak Pejuang TP Brigade 17, Ranu (6/8) malam adakan renungan dan refleksi si Graha Ganesha Surakarta, markas orang tua mereka saat Serangan Umum 4 Hari Solo.
Tanggal 8 Februari 1949, bertepatan dengan hari ulang tahun Pangeran Diponegoro, Mayor Achmadi bersama anak buahnya untuk pertama kali menyerang Kota Solo.
Pertempuran berlangsung hingga Rabu dini hari sekitar pukul 03.00. Para gerilyawan menghilang ke luar kota setelah membakar habis Toko Drie Hoek di Pasar Legi dan Eng Bo serta Toko Obral di Singosaren.
Tanggal 2 Mei 1949, di hari kelahiran tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara diperingati oleh Tentara Pelajar dengan menyerbu Kota Solo pada senja hari bertujuan untuk menculik para pengkhianat dan kolaborator
Hari Minggu, 7 Agustus 1949 pukul 06.00 secara serempak serangan dimulai dengan menyerbu kedudukan Tentara Belanda. Serangan tersebut datang dari seluruh penjuru kota sehingga memaksa Tentara Belanda hanya mampu bertahan di markas masing-masing.
Sekitar pukul 15.00 WIB, Blelanda melakukan serangan balasan dengan menggunakan pesawat terbang yang langsung melakukan pengeboman secara membabi buta.
Senin pagi, 8 Agustus 1949 sejak subuh pertempuran telah kembali berkobar. Ternyata dalam kegelapan malam, para gerilyawan telah memutuskan saluran komunikasi antar markas Belanda. Semangat tempur pasukan Belanda menjadi semakin luruh ketika dalam keremangan pagi mereka melihat bendera Merah putih telah berkibar di kampung-kampung.
Serangan ke Kota Solo semakin gencar. Selama 2 hari Belanda mendatangkan sejumlah pesawat Mustang untuk melakukan straffing pada lokasi yang diduga menjadi konsentrasi para gerilyawan. Pada hari ketiga dari Semarang didatangkan pasukan Infanteri, Kavaleri berikut Pasukan Baret Hijau. Tapi konvoi bantuan tersebut tidak dapat memasuki Kota Solo karena terhalang rintangan jalan dan dihadang pasukan TNI di Salatiga dan Boyolali.
Puncak serangan terjadi pada tanggal 10 Agustus 1949 dengan ikut sertanya pasukan TNI Brigade V yg dipimpin oleh Letkol Slamet Riyadi. Sejak pagi hari sampai tengah malam mereka bahu-membahu bersama Tentara Pelajar menghajar semua pertahanan Belanda.
Pertempuran selama 4 hari itu sangat mengejutkan Kolonel Ohl, Komandan Tentara Kerajaan (Koninjkle Leger) di Kota Solo. Dia sama sekali tidak menduga bahwa pasukan Republik masih mampu melakukan serangan militer dalam skala besar.
Serangan Umum tersebut (8 Pebruari 1949, 2 Mei 1949 dan 7 - 10 Agustus 1949 sebagai puncaknya) yang kala itu terbukti berhasil memperkuat posisi tawar politik perjuangan diplomasi delegasi Republik Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB), Den Haag, sehingga berujung dicapainya Kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949 dapat berdampingan dengan Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945.
Hal ini terjadi karena Belanda sadar bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Kota Solo yang merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh pemimpin yang andal seperti Letkol Slamet Riyadi dan Mayor Achmadi.
Serangan Umum terhadap Solo juga menyebabkan keluarnya perintah untuk mengosongkan wilayah yang berhasil diduduki Belanda dan dikumpulkan di Jakarta, Semarang, Surabaya dan Medan untuk dipulangkan ke Belanda.
Kapten CPM Purn Sanjoto (95) adalah salah satu pelaku yang masih hidup dan kini tinggal di Semarang. Saat itu, Sanjoto sudah bergabung dari pasukan Polisi Tentara atau PT, yang sekarang dikenal dengan Corps Polisi Militer.
“Saat itu saya ikut mengamankan warga masyarakat yang mengungsi keluar kota menuju arah Wonogiri dan Gununglawu. Dalam upaya pengosongan kota, kami menyebangi Sungai Bengawan Solo. Saat menyeberang tiba-tiba muncul pesawat Cocor Merah menembaki kami yang tengah berada di sungai untuk menyeberang. Banyak yang gugur kena tembakan, air sungai yang tadinya bersih tiba-tiba berubah merah darah,” kenang Sanjoto di rumahnya Jl Belimbing Raya, Peterongan Semarang.
Peristiwa pemberondongan masyarakat oleh pesawat Cocor Merah Belanda ini masih membekas dalam ingatan Sanjoto yang saat itu berpangkat Letnan Muda. Menurutnya banyak jasad yang terpisah badannya, bahkan hancur terkena ledakan bom yang dijatuhkan pesawat. Seketika rombongan buyar disertai teriakan histeris, tua muda bahkan anak-anak.
Sejak saat peristiwa tersebut, dirinya mengawal penyelamatan pengungsi keluar dari Solo saat hendak digelar Serangan Umum. Dirinya baru kembali masuk ke Solo setelah Tentara Nasional Indonesia berhasil menguasai kembali Solo dan terlibat penyerahan kekuasaan serta adanya perjanjian Ceasefire atau gencatan sejarah.
“Saat itu saya ikut pengamanan Ceasefire. Saya bersama Polisi Militer Belanda ikut patrol bersama mengamankan Solo agar tidak pecah perang. Ada semacam kesepakatan untuk menghentikan perang. Polisi Tentara menjaga agar tidak ada tentara kita yang menyerang mereka, dan sebaliknya Polisi Militer atau MP Belanda juga menjaga agar tentaranya tidak menyerang TNI selama gencatan senjata. Bahkan kenangan yang saya ingat, saya diberi mobil jeep yang bisa saya bawa ke markas PT,” kenangnya.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait