JAKARTA, iNewsSemarang.id – Perjalanan utang luar negeri Indonesia saat ini sebesar USD400,4 miliar atau Rp6.086 triliun sudah dimulai sejak masa Presiden pertama RI, Ir Soekarno. Utang Indonesia ini tercatat bahkan sejak Indonesia berdiri, yakni utang warisan di zaman pemerintahan Hindia Belanda.
Sejak saat itu, beban utang Indonesia terus bertambah. Bahkan Indonesia masuk ke dalam daftar 10 negara berpendapatan menengah dan bawah dengan utang luar negeri (ULN) terbesar pada 2020. Berdasarkan laporan International Debt Statistics (IDS) 2022 yang dirilis Bank Dunia, ULN Indonesia per akhir 2020 masih berada di urutan ke-7 dengan besaran USD417,53 miliar.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan utang luar negeri yang sebesar USD402,08 miliar, maka nilai utang luar negeri Indonesia pada 2020 naik 3,8%. Sementara itu, ULN Indonesia pada 2020 bila dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat sebesar 41%, meningkat dari 2019 yang sebesar 37% dari PDB.
Menanggapi hal itu menurut Kemenkeu laporan Bank Dunia tidak menyertakan negara-negara maju melainkan negara-negara dengan kategori berpendapatan kecil dan menengah. Alhasil, terlihat bahwa posisi Indonesia, masuk dalam golongan 10 negara dengan ULN terbesar.
Utang memang selalu menjadi perdebatan ketika masuk dalam pembahasan. Alasan yang kerap dipakai pemerintah untuk merasionalisasikan kebijakan utang , memang masuk akal.
Sebagian besar negara berkembang memang memiliki dana pembangunan yang relatif cekak untuk membiayai berbagai kebutuhan pembangunan. Utang Pemerintah digunakan untuk pembiayaan secara umum (general financing) dan untuk membiayai kegiatan/proyek tertentu.
Perlunya Berutang
Kemenkeu melalui laman resminya menerangkan, bahwa berutang perlu dilakukan untuk menjaga momentum dan menghindari opportunity loss. Adanya kebutuhan belanja yang tidak bisa ditunda, misalnya penyediaan fasilitas kesehatan dan ketahahan pangan. Penundaan pembiayaan justru akan mengakibatkan biaya/kerugian yang lebih besar di masa mendatang.
Memberikan Legecy (Warisan) Aset yang Baik untuk Generasi Selanjutnya. Legacy yang baik muncul ketika utang digunakan untuk membiayai hal-hal yang produktif dan memberikan manfaat bagi generasi mendatang, misalnya belanja infrastruktur dan pendidikan. Lalu menjaga dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Efek Utang Luar Negeri
Di sisi lain utang luar negeri juga punya dampak menghambat kemampuan suatu negara dalam berinvestasi, baik dari pendidikan, infrastruktur maupun dari perawatan kesehatan. Hal tersebut dikarenakan pendapatan negara tersebut yang sangat kecil dihabiskan untuk membayar pinjaman dari luar negeri.
Dari manajemen utang yang tidak efektif, dan ditambah dengan guncangan dari jatuhnya harga minyak atau resesi ekonomi yang sangat ekstrem, maka dapat menyebabkan krisis utang dalam suatu negara.
Hal itu bisa diperparah dengan fakta bahwa utang luar negeri pada umumnya didominasi oleh mata uang negara penerbit bukanlah mata uang dari peminjamnya. Dan apabila ekonomi negara dari peminjamnya lemah, maka akan semakin sulit melunasi utang.
Berikut perbandingan utang luar negeri di Indonesia dari tiap periode Presiden:
1. Utang RI di Era Presiden Soekarno
Indonesia sudah mulai melakukan utang luar negeri tak lama dari kemerdekaan Indonesia. Utang tersebut merupakan salah satu kesepakatannya sebagai syarat kemerdekaan dalam Konferensi Meja Bundar atau KMB di Den Haag, Belanda.
Dari konferensi tersebut, Belanda bersedia mengakui kedaulatan RI dengan syarat Indonesia harus menanggung utang dari zaman pemerintahan Hindia Belanda sebesar USD1,13 miliar atau 4,3 miliar gulden.
Sebaliknya, pihak Indonesia hanya mau menanggung utang Belanda hingga Maret 1942, setelah berakhirnya masa Hindia Belanda bersamaan dengan datangnya Jepang. Hingga akhirnya disepakati Indonesia menanggung pembayaran utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dolar AS.
Selanjutnya Soekarno gali lubang tutup lubang untuk membayar sebagian besar utang warisan utang Belanda dengan mengajukan pinjaman kepada negara-negara Blok Timur, seperti Uni Soviet dan para sekutunya. Kucuran pinjaman dari Uni Soviet dinikmati pada tahun 1959 sebesar USD12,5 juta yang dipakai untuk Stadion Gelora Bung Karno dan USD450 juta untuk pembelian peralatan Perang Trikora tahun 1960.
Selain dari Uni Soviet, Indonesia juga mendapat pinjaman dari US Exim Bank. Indonesia mendapat pinjaman sebesar USD6,9 juta untuk Semen Gresik, 5 juta dollar AS untuk pembelian pesawat Lockheed Electra, dan USD47,5 juta untuk Pusri dan PLTU di Surabaya tahun 1960.
Tak berhenti sampai disitu, selanjutnya pada periode 1964-1965, Indonesia berutang kepada International Monetary Fund (IMF). Namun, bulan Agustus 1965, Indonesia memutuskan untuk keluar dari IMF.
Saat era Soekarno berakhir, Orde Lama tercatat mewariskan utang luar negeri Indonesia sebesar USD2,4 miliar atau 29% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada waktu itu. Total utang tersebut adalah utang luar negeri Indonesia ke negara-negara maju.
2. Utang RI di Era Presiden Soeharto
Utang luar negeri yang dimiliki Indonesia pada era Presiden Soeharto sebanyak Rp551,4 triliun. Sementara pada masa itu PDB sekitar Rp955,6 triliun. Namun di era Soeharto, utang luar negerinya lebih cenderung pada blok barat dan dari lembaga asing misalnya Bank Dunia dan IMF.
3. Utang RI di Era Presiden B.J. Habibie
Pada era Presiden B.J.Habibie tercatat menjadi presiden yang membuat utang luar negeri Indonesia menjadi lebih banyak dengan waktu yang sangat singkat. Rasio utang kepada PDB berada hingga level 85,4% sehingga membuat utang di era presiden Habibie sebesar Rp938,8 triliun dan PDB di waktu itu hingga Rp1,099 triliun.
4. Utang RI di Era Presiden Gus Dur
Pada era kepresidenan Gus Dur, Indonesia sempat bisa menurunkan utang luar negerinya menjadi 77,2%. Saat itu utang yang dimiliki oleh pemerintah sebanyak Rp.1.271 triliun dan memiliki PDB sebanyak Rp1.491 triliun.
5. Utang RI di Era Presiden Megawati
Rasio pada utang yang dimiliki Indonesia kembali mengalami penurunan pada era kepresidenan Megawati. Di era itu Indonesia memiliki utang sebanyak Rp1.298 triliun dan memiliki PDB sebanyak Rp2,303 triliun.
6. Utang RI di Era Presiden SBY
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, utang luar negeri yang dimiliki Indonesia sebanyak Rp2.608 triliun. Meskipun mengalami kenaikan, SBY melunasi utang Indonesia pada IMF. Maka di tahun 2006 tercatat sisa utang IMF sebanyak USD3,7 miliar.
Lonjakan utang saat itu diikuti dengan melesatnya PDB hingga 10.542 triliun. Rasio utang menjadi lebih rendah yaitu 24,7% ke PDB. Terendah sepanjang sejarah.
7. Utang RI di Era Presiden Jokowi
Di era Presiden Jokowi, tercatat berdasarkan Bank Dunia bahwa utang luar negeri yang dimiliki Indonesia meningkat lebih dari dua kali lipat dari 10 tahun terakhir ini. Utang Indonesia menjadi sebanyak USD353,56 miliar pada tahun 2017, USD379,59 miliar di tahun 2018 dan naik hingga sebesar USD402,08 miliar atau sebanyak Rp5.634 triliun.
Dan hingga Juli 2022 hutang luar negeri Indonesia sebesar USD400,4 miliar atau Rp6.086 triliun. Angka ini turun dibandingkan dengan posisi ULN pada bulan sebelumnya sebesar USD403,6 miliar (Rp6.131,6 triliun). Utang luar negeri yang dimiliki Indonesia berasal dari negara Singapura, Jepang, Australia, Amerika, China dan lain sebagainya.
Editor : Sulhanudin Attar