Semarang, iNewsSemarang.id- Patah hati atau putus cinta pasti pernah dialami oleh manusia. Ketika hal ini terjadi, manusia cenderung susah mengendalikan emosinya. Bahkan saat patah hati, beberapa diantaranya kehilangan nafsu makan.
Kondisi tubuh saat putus cinta, seperti rasa pusing dan penurunan hidup ternyata memiliki keterkaitan yang bisa dijelaskan melalui perspektif ilmiah.
Hal ini karena luapan emosi negatif yang dipicu oleh putus cinta. Luapan emosi dapat terasa menyakitkan secara fisik. Peningkatan hormon stres kortisol, adnrenalin, dan noradrenalin, serta penurunan hormon bahagia serotonin dan oksitonin dalam tubuh mempengaruhi terjadinya emosi negatif.
“Ketika putus cinta, kadar oksitonin dan dopamin turun, sementara pada saat yang sama ada peningkatan kadar salah satu hormon yang bertanggung jawab atas stres yakni kortisol,” ucap Pakar kesehatan, Dr. Deborah Lee, penulis artikel medis di Dr Fox Online Pharmacy, Inggris. Mengutip Antara di LiveScience.
Peningkatan kortisol dapat menimbulkan kondisi seperti tekanan darah tinggi, penambahan berat badan, jerawat, dan peningkatan kecemasan. Studi dalam jurnal Biological Sciences tahun 2011, menunjukkan bahwa penolakan sosial, seperti putus cinta dengan pasangan, dapat mengaktifkan otak yang berhubungan dengan rasa sakit fisik.
Psikolog klinik, Eric Ryden menjelaskan efek neurobiologis patah hati bisa sedemikian rupa, sehingga disamakan dengan rasa sakit fisik, sebagaimana dibuktikan gejala fisik, misalnya nyeri dada dan serangan panik, merasa terpukul. “Patah hati tampaknya melibatkan mekanisme saraf yang sama dengan rasa sakit fisik,” tutur dia.
Melansir dari Mayo Clinic Neurology Board Review. Selama patah hati, sistem saraf simpatik dan parasimpatis yang biasanya mengimbangi satu sama lain menjadi aktif. Sistem saraf ini bertanggung jawab atas respon perlawanan tubuh, mempercepat detak jantung, dan pernapasan. Sementara sistem saraf parasimpatis bertanggung jawab atas tubuh saat istirahat.
Lee menyebut, pelepasan hormon kala patah hati, mengaktifkan dua bagian sistem saraf ini. Otak dan jantung yang merespon menjadi bingung karena menerima pesan yang campur aduk.
“Hal ini bisa mengakibatkan gangguan pada aktivitas listrik jantung, dengan variabilitas detak jantung yang lebih rendah” jelasnya.
Acap kali rendahnya variabilitas jantung manusia, akan menunjukkkan gejala seperti kelelahan, kecemasan, depresi, dan kurang tidur. Variabilitas detak jantung dapat digunakan untuk menilai keadaan klinis pada pasien depresi, berdasarkan makalah pada Frontiers in Physchiatry tahun 2019.
(MG/ Shinta)
Editor : Maulana Salman