YOGYAKARTA, iNewsSemarang.id - Sosok Mbah Benu dari Gunung Kidul yang mengaku sudah menelpon Allah untuk minta petunjuk kapan awal dan akhir bulan puasa tengah viral baru-baru ini. Pimpinan jama'ah Aolia yang telah menetapkan dan merayakan Hari Raya Idul Fitri pada Jum'at (5/4/2024) lebih cepat 4-5 hari dibanding umumnya umat Islam itu rupanya sosok yang dianggap heroik oleh warga sekitarnya.
Dilansir dari sumber akun Facebook Harun Mahbub, dibalik berbagai kontroversi Mbah Benu yang menghebohkan publik ternyata ada perspektif lain yang membuatnya dipercaya para jamaah Aolia bahkan santrinya konon sampai ribuan tersebar di segenap daerah terutama di Jawa.
Mbah Benu telah memulai babat alas di Panggang Gunung Kidul sejak 1971, menemani istrinya, Bu Rien, yang bekerja sebagai bidan desa di daerah terpencil. Pada masa itu, wilayah ini belum sepopuler sekarang, tanpa jalan beraspal, tanpa listrik, dan sedang menghadapi krisis air.
Mbah Benu merupakan sosok yang gigih bekerja. Berbagai macam pekerjaan dilakukan untuk menghidupi keluarganya. Dia kerja serabutan di sela antar jemput istri. Kadang mancing, makelaran, jual bubur kacang ijo, usaha angkutan, belakangan jadi guru agama di sekolah menengah jaringan Taman Siswa.
Mbah Benu menjadi guru agama karena latar belakangnya sejak kecil sampai remaja belajar agama dari ayahnya, santri dari Purworejo yang aktif berjuang mengusung panji Laskar Hizbullah. Mbah Benu kecil ngaji sambil ikut hidup berpindah-pindah sampai daerah-daerah pantai utara Jawa. Ini sekaligus jadi catatan sanad keilmuannya yang paling jelas, ngaji langsung ke ayahnya, Eyang Shaleh Dipoatmodjo.
Mbah Benu memiliki kebiasaan heroik pada malam hari. Setiap malam, dia mengunjungi berbagai masjid di daerah terpencil, meskipun harus melalui medan yang sulit dan gelap gulita. Wilayah yang menjadi saksi jalan dakwahnya antara lain adalah Gubar, Klampok, Sumur, Petoyan, Banyumeneng, Gedad, Getas, Turunan, Temu Ireng, Warak, Krambil Sawit, Ngobaran, Gubukan, Paliyan, Playen, Pulutan, Plembutan, Nglipar, Wonosari, Tepus, juga turun gunung ke Ireng-Ireng, Imogiri, Srandakan, Jogja, dan lain-lain.
Mbah Benu nekat menembus kelam malam, hutan wingit, kuburan angker, melintasi tikungan-tikungan dengan jebakan jurang curam, kadang ditemani hujan berkabut. Berangkat habis Isya, pulang sampai rumah lewat tengah malam ditemani motor dinas istrinya, motor Suzuki era Honda 70-an, sebelum ada rezeki bisa beli Honda GL100.
Dalam agenda safarinya tiap malam itu, Mbah Benu membacakan Al-Quran, menjelaskan tafsirnya, dan kadang-kadang melantunkan tahlilan untuk warga yang meninggal atau berdoa bersama dalam situasi musibah.
Tindakan Mbah Benu ini dilakukan tanpa bayaran apa pun, namun murid-muridnya yang kadang memberikan rokok atau makanan sebagai tanda terima kasih. Seiring berjalannya waktu, beberapa muridnya juga membantu dengan memberikan bensin atau bahkan mengantarkan Mbah Benu ke tempat tujuan dengan mobil mereka.
Mbah Benu menjalani kegiatan itu secara konsisten selama bertahun-tahun, terhitung sudah 30-40 tahunan hingga sekarang. Meski tidak memiliki catatan ilmu sekaya para alim ulama dari pondok pesantren atau sekolah-sekolah agama NU atau Muhammadiyah. Namun catatan ilmu yang digenggamnya itu diamalkan secara konsisten istiqamah. Semisal diundang kalau ada orang sakit atau kena santet, seringnya baca doa-doa anggitan Syaikh Abu Hasan Asyadzili atau Syaikh Hasyim Asyaqafi.
Meski demikian, ada beberapa tradisi keagamaan yang tidak dia praktikkan, seperti Maulid Barzanji, karena merasa belum pantas untuk mengamalkannya secara langsung kepada Nabi. Namun, dia tetap setia membaca shalawat Muhamadurrasulullah 18 bait pada setiap awal majelisnya.
Dengan kehidupan yang teguh dan berdedikasi selama bertahun-tahun, tidak mengherankan jika jamaah dan warga sekitar masjid Aolia menghormati dan mengikuti jejaknya.
Editor : Maulana Salman