SEMARANG, iNewsSemarang.id - Universitas Diponegoro (Undip) sudah melakukan investigasi internal seperti disampaikan berkali-kali oleh Rektor Prof. Dr. Suharnomo, S.E.,M.Si. Undip menegaskan sangat terbuka dengan hasil investigasi dari pihak luar baik itu kepolisian maupun Kemenkes.
Wakil Rektor IV Undip, Wijayanto, Ph.D menegaskan bahwa jika memang terbukti ada perundungan, hukuman untuk pelakunya jelas dan tegas yakni Drop Out. Namun, faktanya bahkan saat investigasi itu masih jauh dari kata selesai, penghakiman bahkan hukuman sudah dilakukan, berkali-kali.
Hukuman pertama berupa pemberhentian program Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di RSUP Dr Kariadi. Pemberhentian ini dilakukan Kemenkes pada 14 Agustus 2024 jauh sebelum penyidikan itu rampung dan ada kata putus dari polisi dan apalagi pengadilan.
Pemberhentian program studi itu tidak hanya merugikan 80-an para mahasiswa PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) lainnya. Namun juga masyarakat yang mesti mengantre panjang karena kelangkaan dokter di RSUP Dr Kariadi.
Hukuman kedua baru saja terjadi kemarin. Hukuman itu diberikan kepada dokter Yan Wisnu Prajoko, Dekan Fakultas Kedokteran Undip Surat nomor KP.04.06/D.X/7465/2024 tertanggal 28 Agustus 2024 perihal Penghentian Sementara Aktivitas Klinis di RSUP Dr. Kariadi yang ditujukan kepada dokter Yan Wisnu Prajoko yang ditandatangani oleh Direktur Utama RSUP Dr. Kariadi, Agus Akhmadi.
“Saya mengenal dokter Yan Wisnu Prajoko sebagai pria bersuara lirih, selalu ramah, tidak pernah meledak-ledak dan sangat hati-hati dan terukur dalam berkata-kata. Dapat dimengerti, dia adalah seorang dokter spesialis Onkologi. Saat saya periksa wikipedia, itu adalah cabang ilmu yang berurusan dengan studi, perawatan, diagnosa dan pencegahan kanker,” kata Wijayanto dalam keterangan tertulis, Minggu (1/9/2024)
“Beberapa kali saya bertemu dengannya akhir-akhir ini. Wajahnya lelah dan tampak kurang tidur. Kepada saya, dia mengaku mengalami banyak sekali doxing dan perisakan di berbagai akun media sosial yang dia miliki. Hari-hari ini dia merasa didera rasa cemas dan panik, stress dan burn out,” katanya.
Menurutnya, dokter Yan adalah sosok yang penuh integritas. Sulit baginya membayangkan dia rela untuk melindungi pelaku perundungan dan mengorbankan nama baiknya sendiri. Mengorbankan puluhan mahasiswa yang lain dan, terutama, almamater Undip yang teramat dcintainya. Apalagi ditambah semua perisakan yang dialaminya.
Namun, hari Jumat kemarin, bahkan sebelum hasil investgasi keluar, dia sudah terlebih dulu diberhentikan praktiknya dari RSUP Dr. Kariadi. Yang melakukan pemberhentian itu adalah Direktur Rumah Sakit.
“Kita mendengar Pak Dirut mendapat tekanan luar biasa dari kementerian kesehatan sehingga mengeluarkan keputusan itu. Di sini, kita segera teringat kasus yang menimpa Dekan Fakultas Kedokteran Unair yang diberhentikan oleh menteri karena berani kritis pada kebijakan pemerintah,” ujar Wijayanto.
Hukuman dan penghakiman kepada PPDS dan Undip mungkin masih akan terus berlanjut. Rektor Undip menyebutnya: "sitting duck" alias bebek yang lumpuh yang tidak berdaya melawan berbagai bahaya yang mengancam.
Ya, semunya tertuju pada Undip dan hanya Undip. Bahkan meskipun pada kenyataannya, seperti jelas dalam berbagai dialog, jam kerja yang overload itu adalah kebijakan rumah sakit dan ini adalah ranah kebijakan kementerian kesehatan.
Mahasiswa PPDS belajar dengan cara yang tidak biasa: learning by doing dengan langsung praktik di rumah sakit. Seorang residen, julukan untuk mahasiswa PPDS yang tengah belajar di rumah sakit, mesti bekerja rata-rata lebih dari 80 jam seminggu. Tidur hanya 2-3 jam setiap hari. Kadang mesti bekerja hingga 24 jam alias sama sekali tidak tidur.
Disinilah mengapa Rektor Undip mengungkapkan bahwa penyidikan ini sayapnya patah karena hanya sebelah. Peristiwa ini ibarat puncak gunung es.
“Undip mendorong agar investigasi dilakukan secara tuntas agar terungkap akar struktural dan sistemik dari keadaan ini sebagai modal pembenahan ke depan. Agar Undip tidak terus-terusan menjadi sitting duck yang dihujani hukuman tanpa bukti, dan tanpa pengadilan,” ujarnya.
Editor : Ahmad Antoni