JAKARTA, iNewsSemarang.id -Pengamat terorisme, Makmun Rasyid berpendapat bahwa langkah tegas terukur Densus 88 menembak tewas tersangka teroris Sunardi (53) saat penangkapan di Sukoharjo telah sesuai dengan UU Terorisme No 5 Tahun 2018.
Undang-undang tersebut mengamanahkan kepada aparat keamanan, termasuk Densus 88, untuk menindak siapa pun, meski belum melakukan aksi teror atau meledakkan bom.
"Undang-undang tersebut membuat sistem operasi di lapangan semakin luas dan pencegahan terorisme semakin baik," kata Makmun Rasyid dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (11/3/2022).
Menurutnya, penembakan yang dilakukan Densus 88 karena adanya perlawanan dari Sunardi. Ketika diminta berhenti, dia malah berusaha kabur dengan menabrakkan mobilnya ke polisi.
Dia berusaha melarikan diri dengan cara mengendarai mobilnya secara zigzag hingga mengenai kendaraan yang melintas di Jalan Raya Bekonang-Sukoharjo. Mobil baru berhenti setelah menabrak rumah warga.
Makmun Rasyid menjelaskan, secara naluriah, jika seseorang merasa bersalah, maka dia akan mencari segala macam cara agar terlepas dari jeratan. Tak terkecuali Sunardi. Kepolisian tidak mungkin menjadikannya sebagai target manakala dia tidak terlibat dalam jaringan terorisme.
"Dan faktanya, Sunardi merupakan seorang penasihat Amir Jamaah Islamiyah (JI) dan juga penanggung jawab Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI). HASI merupakan organisasi sayap Jamaah Islamiyah yang beroperasi besar di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, dan Makassar," katanya.
Banyak pertanyaan yang muncul mengapa Densus 88 menangkap Sunardi padahal dia belum melakukan tindakan teror?
Menurut Makmum Rasyid, Sunardi memang tidak mengangkat senjata dan melakukan aksi pengeboman. Sebab, saat ini Jamaah Islamiyah sudah mengubah strategi.
Kelompok teroris ini, kata Makmun, paham bahwa jika menggunakan kekerasan, maka akan sangat merugikan karena banyak penangkapan, sehingga mereka memilih konsolidasi dan menunggu momentum yang tepat.
"Makanya kalau jalan-jalan ke rumah Sunardi, tempat dia membuka praktik, ada papan nama namun pasiennya yang datang ke rumah dokter Sunardi sedikit. Mengapa? Sunardi sudah mengerti peraturan organisasinya untuk berhati-hati saat membuka praktik. Tidak semua pasien bisa diterimanya," ungkapnya.
Jamaah Islamiyah memang memiliki kecenderung membuat lembaga-lembaga humanitarian seperti BM-ABA, Syam Organizer, dan Hilal Ahmar Society Indonesia. Uang yang terkumpul digunakan untuk mengirimkan bantuan kepada negara konflik.
Beberapa yayasan filantropi di Indonesia, meski bukan sayap Jamaah Islamiyah atau JAD-JAT, tapi di negara-negara konflik mereka bertemu dan membantu kelompok teroris.
"Di sini memang kelemahan regulasi yang berkaitan dengan yayasan filantropi. Khususnya UU No 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang dan Barang," kata Makmun.
Selain membentuk yayasan, katanya, kelompok-kelompok teroris juga menyusup ke lembaga atau ormas. Seperti Ahmad Zain An-Najah yang berada di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Sunardi yang berprofesi menjadi dokter.
Editor : Sulhanudin Attar