Oleh: Usman Roin *
SEMARANG. iNewsSemarang.id - Hari lebaran semarak atau tidak itu tergantung kita sendiri, kita yang menjadi pelaku bersemangat atau malas, melanjutkan tradisi anjang sana-sini silaturahim antar keluarga, tetangga, kolega, teman dan lainnya.
Terlebih, bila sudah lebaran (yang halal makan-minum dan lainnya) tentu semangatnya harus lebih strong, dibandingkan kala sedang beribadah puasa. Bolehlah beralibi, bila karena puasa, silaturahim ditunda setelah buka. Lha sekarang, sudah "buka" beneran, kenapa semangatnya malah turun?
Pertanyaan itu, hakikatnya teralamatkan kepada kita semua tanpa terkecuali. Kita semua memiliki tanggung jawab melestarikan tradisi silaturahim agar lestari sepanjang masa. Toh momentum itu setahun sekali dirayakan. Manfaatnya, tidak lain dalam rangka memberi pelajaran penting kepada generasi zaman now bahwa di samping online, silaturahim offline (tatap muka langsung) juga perlu.
Jika edukasi silaturahim itu tidak ditradisikan secara turun temurun, tentu akan memunculkan sikap individualistik. Masyarakat tidak akan saling kenal kepada keluarga, tetangga, teman. Hidupnya nafsi-nafsi, apatis, dan akan nihil dari sikap tolong menolong bin gotong royong.
Bila sudah begini, tentu akan menimbulkan bencana persatuan dari ruang privat menuju ruang sosial yang "menganga" hingga sulit untuk sekadar menyembuhkannya.
Perlu diketahui, secara etimologis Syawal memiliki makna meningkat. Meningkat dalam semangat ubudiyah dan terhadap merekatkan hubungan dengan sesama. Tetapi faktanya, silaturahim dengan keluarga dan tetangga "seakan-akan" luntur dari waktu ke waktu. Padahal, kanjeng Nabi pernah bersabda, salah satu tujuan silaturahim adalah memperlancar rizki.
Oleh karenanya, tradisi lebaran akan eksis dan punah itu semua tergantung kita. Kita masing-masing ingin memperkuat tradisi anjang sana-sini atau tidak dengan keluarga, kolega, teman dan lain sebagainya.
Jika semangat ini hilang, tentu perlu untuk disadarkan. Jangan sampai potret "rumah" menjadi sepi karena tidak ada yang silaturahim. Jangan pula mendahulukan rekreasi sebelum silaturahim dengan keluarga dan lainnya selesai.
Jika prilaku di atas terjadi, kita menjadi bagian "pemutus" tradisi silaturahim. Karena kala bersilaturahim tidak jinak, melainkan tergesa-gesa. Atau pula punya perasaan malas. Pertanyaannya, lalu bagaimana agar momen silaturahim menjadi momen indah? Bagi penulis hal itu bisa dilakukan melalui dua hal berikut:
Pertama, jadwalkan silaturahim. Artinya apa, mulai dari selesai salat idul fitri selepas sungkem kepada orang tua, jadwal silaturahim kepada keluarga, tetangga sekitar kita agendakan terlebih dahulu.
Perlu diketahui, silaturahim kepada sanak saudara, tetangga, memiliki signifikansi agar kita tidak terasing di tempat sendiri. Kita menjadi saling mengenal one by one keluarga, tetangga yang ada di sekitar kita, sehingga sapa harian kepada sesama hadir dan terwujud nyata dalam laku kehidupan.
Kedua, buat halalbihalal. Halalbihalal adalah tradisi bermaafan yang formal yang memiliki manfaat merekatkan kembali hubungan silaturahim yang renggang oleh problematika personal pra lebaran yang terjadi.
Bila pada hari-hari biasa meminta maaf seakan-akan berat, melalui momentum idul fitri ini semua menjadi mudah termaafkan. Ibaratkan sarana transportasi, idul fitri ini adalah tol ekspres upaya pemaafan.
Apalagi, momen bermaafan ini selain bertujuan menghidupkan tradisi, secara sosiologis menjadi "wasilah" menerima maaf -bagi yang sungkan meminta maaf- oleh kesalahan yang terlalu akut. Adapun wujudnya, bisa antar keluarga, institusi pemerintahan, lembaga pendidikan, ormas, pertemanan, dan jenis lainnya.
Dua sarana di atas, serta berbagai alasan rasional tersebut, bagi penulis adalah sarana bijak penguatan tradisi silaturahim. Karenanya, mari kita perkuat tradisi silaturahim pada Idul Fitri di mana Covid-19 sudah landai, dengan semangat anjang sana-sini hingga budaya "memaafkan" menjadi tradisi berkelanjutan pasca Ramadhan.
* Penulis adalah Dosen PAI UNUGIRI Bojonegoro, Pengurus PAC ISNU Balen, serta Mahasiswa Doktor UIN Walisongo Semarang.
Editor : Miftahul Arief