MALANG, iNewsSemarang.id - Tim Riset UIN Maulana Malik Ibrahim Malang melakukan fieldwork di Belanda dengan melihat outlook kehidupan beragama di negara Kincir Angin. Hal itu dilakukan disela-sela mereka mengambil data penelitian di Radboud University dengan mengemasnya melalui kegiatan buka bersama (iftar).
Ketua Tim Peneliti Dr. Mohammad Mahpur, M.Si mengatakan, kami mendapat undangan buka bersama dengan komunitas muslim Ihtida (perkumpulan mualaf yang berasal dan didukung oleh Masjid Ulu Camii, Utrecht) dan juga komunitas muslim Turki di Masjid Eyüp Sultan, Nijmegen.
Tim Riset UIN Malang bersama Lotte, salah satu muslimah mualaf berkebangsaan Belanda menghadiri buka bersama, menuturkan bahwa kegiatan buka bersama diawali dengan pemaparan tentang Islam oleh salah seorang seorang mualaf tentang proses perjalanan dirinya menjadi muallaf dan krisis identitas yang dialami oleh dirinya dan teman-teman yang lainnya setelah menjadi muallaf, pada Rabu (05/04).
Sementara itu buka bersama dengan Komunitas Turki di Masjid Eyüp Sultan, Nijmegen, dilakukan secara terbuka, tidak hanya yang muslim, tetapi mereka juga mengijinkan non-muslim untuk bergabung, baik untuk makan maupun hanya ingin mendapatkan pengalaman dan pengetahuan tentang ramadhan dan aktifitas ibadah muslim lainnya.
Mahpur mengatakan, salah satu aktifis masjid (baca: Esra) yang sempat kami wawancarai mengatakan bahwa mereka merasa hidup nyaman menjadi Muslim di Belanda meskipun sebagai kelompok minoritas.
“Kalaupun terdapat insiden-insiden yang dialami oleh muslim, tetapi tidak begitu berdampak pada kehidupan Muslim di Belanda, khususnya di Nijmegen," katanya.
Martjin de Koning, seorang Antropolog pada Department of Islam Studies, Radboud university menyebutkan bahwa muslim adalah kelompok minoritas di Belanda seperti pemeluk agama lainnya, sementara kelompok mayoritas adalah orang-orang yang tidak berafiliasi pada agama apapun.
Koning berpendapat bahwa negara memberikan pengakuan yang sama pada kelompok minoritas.
“Belanda secara konstitusi, bukanlah negara yang sekuler, karena konstitusi menyebutkan bahwa tidak ada pemisahan antara agama dan negara serta adanya pengakuan kesetaraan agama-agama yang ada," terang Devi Pramitha, M.Pd.I, Anggota Peneliti yang juga Sekretaris Program Studi S1 Manajemen Pendidikan Islam.
“Kalaupun terdapat insiden yang mengarah pada radikalisme, diskriminasi atau bahkan kecurigaan pada agama tertentu, hal itu lebih disebabkan oleh fenomena global yang terjadi di berbagai tempat di belahan dunia," terang Koning.
Editor : Maulana Salman
Artikel Terkait