SEMARANG, iNewsSemarang.id - Agustinus Santoso, seorang pengusaha Properti di kota Semarang terus berupaya mencari keadilan terhadap dirinya. Ia saat ini sedang menjalani proses hukum di pengadilan Negeri Semarang akibat tuduhan penggelapan dan penipuan serta rekayasa kepailitan yang didakwakan kepadanya.
Agustinus Santoso dilaporkan oleh Kwee Foeh Lan atas dugaan tindak pidana turut serta bersama-sama melakukan penggelapan dan penipuan atau pasal 372 dan 378 KUHP.
Saat ini prosesnya sudah masuk dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang dengan perkara nomor 270/Pid-B/2023/PN Smg.
Perkara ini berawal ketika terdakwa Agustinus Santoso akan melakukan pembelian tanah di Jalan Tumpang Raya No 5, Kelurahan Petompon, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang seluas 2.285 meter persegi dari Agnes Siane yang mana sertifikat masih atas nama suaminya yakni Tan Joe Kok Men.
Tanah tersebut posisinya sedang menjadi agunan di Bank Mayapada. Setelah melalui proses lelang, tanah tersebut terjual dengan harga Rp 8 miliar.
Kuasa Hukum terdakwa, Osward Febby Lawalata menyampaikan, dalam proses persidangan, keluarga terdakwa merasa sejak awal penyidikan hingga penuntutan sangat penuh dengan ketidakbenaran.
Menurutnya, dalam proses tersebut terdapat hal-hal yang tidak disampaikan secara utuh, bahkan kliennya merasa sebagai korban dari sengketa keluarga.
"Karena pihaknya khawatir ada pihak-pihak yang menginginkan terdakwa Agustinus Santoso dikriminalisasi," ujar Osward kepada Wartawan di kantornya Jalan Pleburan Barat, Kota Semarang, Rabu (31/5/2023).
Ia berharap proses persidangan dapat berjalan dengan baik, lancar, terang, terbuka dan Hakim punya keberanian untuk memutuskan sesuai keinginan kliennya yakni bisa bebas dari segala tuntutan.
"Perkaranya pak Agustinus masuk di pidana PN Semarang ini adalah pak Agustinus dituduh bersama-sama dengan Agnes Siane melakukan rekayasa pailit di PN Semarang yang mana objeknya adalah tanah di Jalan Tumpang SHM 15," terangnya.
Tanah tersebut menurut Osward, dibeli oleh Agustinus dengan itikad baik dan kemudian Agnes Siane tidak mampu melaksanakan balik nama dan Agustinus cuma menuntut haknya dia lewat kepailitan, namun kata Osward, Agustinus justru dikriminalisasi dengan menuduh prosesnya dilakukan dengan rekayasa.
"Kalau proses dari penyidikan sampai kepada penuntutan ini sengaja didesign sedemikian rupa sehingga tidak memotret masalah ini secara utuh. Secara utuh tuh apa, tanggal 26 Mei 2011 pak Agustinus melakukan jual beli membeli tanah yang ada sebagai jaminan Mayapada dengan izin, pengetahuan dan dilakukan resmi di bank Mayapada," ujar Osward.
Osward menerangkan, tanah itu dimiliki oleh Joe Kok Men yang merupakan suami dari Agnes Siane. Sejak tahun 1984 sampai 2010 itu sertifikat atas nama Joe Kok Men, tidak pernah ada gugatan dari pelapor (Kwee Foeh Lan).
"Kwee Foeh Lan tidak pernah menempati tanah itu, tidak pernah merawat tanah itu, tidak pernah memanfaatkan tanah itu, tidak pernah tinggal di tanah itu di Tumpang 5, tapi pasca Joe Kok Men meninggal tahun 2010, baru 2011 mereka gugat menggugat secara internal keluarga," bebernya.
Pada tahun 2010, lanjutnya, Joe Kok Men meninggal dunia dan meninggalkan hutang di bank Mayapada sebesar Rp 3,5 miliar sekian. Karena debiturnya meninggal dunia, bank Mayapada mencari ahli warisnya yang harus melunasi hutang yakni Agnes Siane bersama anak-anaknya.
Oleh karena itu, lanjut dia, dalam praktik perbankan, ketika debitur punya hutang mati dan macet, bank mempunyai cara untuk menyelesaikan permasalahan tersebut yakni melunasi atau dilelang.
"Bank Mayapada sudah memberi peringatan kepada ahli waris dari Joe Kok Men tidak ada tanggapan. Akhirnya tahun 2011 itu bank Mayapada mengajukan eksekusi (aanmaning) di Pengadilan Negeri Semarang. Aanmaning pertama, Agnes Siane dan ahli warisnya datang untuk dipanggil sebagai termohon eksekusi. Pengadilan Negeri meminta kepada Agnes Siane untuk segera melunasi hutang suaminya," papar Osward.
Akhirnya, kata Osward, Agnes Siane menjual hak tanggungan melalui broker atau pihak ketiga. Kemudian datanglah terdakwa. Terdakwa menyetujui permintaan atau penawaran dari Agnes Siane. Dan tanggal 26 Mei 2011 Agustinus Santoso dan Agnes Siane beserta ahli waris dari Joe Kok Men melakukan transaksi yaitu jual beli dengan harga yang disepakati Rp 8 miliar, tetapi dibayar dulu Rp 3,5 miliar sekian untuk melunasi hutang di bank Mayapada, sisanya akan dibayar setelah AJB selesai.
"Nah pada tanggal 26 Mei 2011 sertifikat masih atas nama Joe Kok Men tidak pernah ada gugatan dari Kwee Foeh Lan, tidak pernah ada protes dari Kwee Foeh Lan, tidak pernah ada putusan apapun yang menyatakan kalau Kwee Foeh Lan atau Joe Kok Men ini bukan pihak yang berhak. Lagi pula sertifikat itu sudah bertahun-tahun berada di bank Mayapada," terangnya.
Proses transaksi jual beli pada tanggal 26 Mei 2011 tersebut, terang Osward, dilakukan di bank Mayapada. Bahkan Agustinus sampai membuka rekening bank Mayapada. Dia juga transfer dan langsung di autodebet oleh bank Mayapada.
"Nah pertanyaannya sekarang, setelah Agustinus sebagai pembeli ia membeli, dia punya haknya tuh apa, megang sertifikat dong, betul kan, la wong aku sudah beli kok, itu tanahmu. Saya pegang sertifikatmu dan saya serahkan kepada Notaris Tanti Herawati di Tanah Mas. Dua bulan pada saat mau tandatangan, ternyata salah satu ahli waris belum mau tandatangan. Dan pada waktu itu pak Agustinus sudah menemuinya, dia menyatakan mau menandatangani dengan syarat minta uang dan disetujui," ucap Osward.
Pada saat mau PPJB lagi atau dua bulan setelah tanggal 26 Mei 2011 tepatnya bulan Juli 2011 ternyata ada gugatan yang baru masuk nomor 240 dan nomor 244 dari internal mereka dengan persoalan bahwa tanah bukan milik Agnes Siane atau suaminya.
"Dari gugatan itu, sertifikat diblokir di BPN karena ada gugatan. Akhirnya pak Agustinus melakukan somasi kepada Agnes Siane," terangnya.
Hingga akhirnya, kata Osward, upaya hukum yang dilakukan Agustinus adalah pailit. Dan pailit ini yang sampai sekarang masuk dalam pidana yang sedang proses di pengadilan. Kemudian Pengadilan Niaga memutus Agnes Siane pailit.
"Jadi apa yang mau direkayasa. Kalau mau direkayasa ya hakim dipanggil dong, kalau hakim gak diperiksa sebagai tersangka mana mungkin pak Agustinus diperiksa sampai jadi tersangka dan terdakwa," ungkapnya.
Editor : Agus Riyadi
Artikel Terkait