Begitu pula saat Perayaan Waisak, para pemuka agama muslim, pendeta, romo, biksu hingga penghayat kepercayaan melakukan hal yang sama. "Kami masuk ke Vihara untuk mengucapkan selamat merayakan Waisak," kata Taslim.
Saling berkunjung inilah, menurutnya yang harus didorong. Namun, dia menyatakan Mbak Ita telah menunjukkan upaya untuk mengarah Kota Semarang terbebas dari intoleran. "Kami sebagai pegiat toleransi berharap bisa zero intoleran," katanya.
Dia mengambil peristiwa lain ihwal intoleran yang pernah terjadi di Kota Semarang. Misalnya pendirian Gereja Baptis Indonesia (GBI) di Jalan Malangsari, Tlogosari, Pedurungan bisa dibangun setelah 20 tahun lebih adanya penolakan.
"Kami, kawan-kawan lintas iman dan agama juga mendampingi gereja itu dibangun dengan baik sampai sekarang bisa digunakan. Perhatian Pemkot Semarang sampai sekarang juga terus ada," ujarnya.
Kemudian pula, ketika umat Syiah menyelenggarakan Asyura mendapat gangguan dalam perayaannya. Pihaknya bersama pemerintah juga melakukan pendampingan. "Bahkan kawan-kawan lintas agama datang merayakan. Saya kira Setara Institute memotretnya seperti itu," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Kota Semarang kembali melanjutkan tren positif dalam pemajuan toleransi. Ibu Kota Jawa Tengah (Jateng) tersebut menempati peringkat kelima Indeks Kota Toleran (IKT) 2023 dengan skor 6,230 yang digelar Setara Institute.
Angka tersebut menunjukkan peningkatan dibanding 2022 silam dengan skor 5,783 yang menempati posisi ketujuh. Pencapaian Kota Semarang terbilang progresif, sebab pada 2021 masih di angka 12 dari 91 kota di seluruh Indonesia.
Editor : Maulana Salman
Artikel Terkait