SEMARANG, iNewsSemarang.id - Polda Jateng mengimbau para orang tua tidak mudah mengizinkan anak-anak di bawah umur mengendarai motor atau mobil apalagi melintas di jalan raya.
Hal ini karena adanya sejumlah anak di bawah umur yang terjaring polisi yang tengah mengadakan patroli pada Operasi Keselamatan Lalu Lintas Candi 2024.
"Masih ditemukan anak-anak di bawah umur yang melanggar lalu lintas. Untuk ini, kami berupaya kepada orang tuanya diberikan arahan," kata Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Satake Bayu Setianto, Kamis (7/3/2024)
Fenomena pelanggaran lalu lintas oleh anak di bawah umur, sering terjadi di Jawa Tengah. Berdasar data diketahui pada tahun 2023 terdapat 15.321 anak usia di bawah umur 15 tahun yang tercatat sebagai pelanggar lalu lintas.
Padahal, ungkap dia, setiap kecelakaan selalu berawal dari pelanggaran lalu lintas. Untuk itu dia berharap agar orang tua tidak mudah mengijinkan anak di bawah umur mengendarai kendaraan bermotor
"Melalui operasi keselamatan lalu lintas, kita berupaya menekan kecelakaan lalu lintas, termasuk juga kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anak-anak," ujarnya.
Dia menyebutkan, mengemudi tidak hanya membutuhkan kesiapan fisik dan mental tapi juga skill serta pengetahuan berlalu lintas yang baik. "Jangan mudah memberikan akses kendaraan kepada anak-anak. Secara legal, seseorang baru bisa mendapatkan SIM di usia 17 tahun dan mempunyai KTP,” ujarnya.
Pemerhati pendidikan Universitas Negeri Semarang (Unnes) Ali Formen, PhD, mengaku turut prihatin terhadap fenomena banyaknya anak-anak di bawah umur yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya dan menjadi pelanggar lalu lintas.
Koordinator Program Studi S1 dan S2 PG PAUD Unnes ini juga prihatin terhadap anak yang menjadi korban kecelakaan.
"Saya melihat faktor di balik semua ini, memang kompleks. Keluarga menjadi salah satunya. Soal keluarga ini, saya melihat, pertama-tama, karena faktor keluarga yang permisif. Maksudnya keluarga memang memberikan anak mereka akses kepada alat transportasi bermotor. Jadi kuncinya di permissiveness dan penanaman disiplin dalam keluarga untuk tidak mengijinkan anak mengendarai kendaraan khususnya motor," kata Ali Formen
Alumni Monash University Australia ini melihat beberapa faktor lain yang menjadi pendorong mengapa anak-anak di bawah umur bebas mengakses penggunaan sepeda motor.
"Yang pertama, kenyataan bahwa banyak di antara kita, orangtua dan orang dewasa diam-diam bangga kalau anak-anak belia kita juga mengendarai alat transportasi bermotor pada usia yang seharusnya belum. Ini menjadi semacam lingkaran setan, anak dan keluarga sama terprovokasi untuk mengendarai alat transportasi kendaraan bermotor," terangnya
"Yang kedua, sebagian sekolah tampak juga memandang normal situasi ini. Sangat lazim, saat ini untuk kita melihat anak-anak usia sekolah menengah pertama pergi ke sekolah dengan bermotor. Kita tahu, mereka belum memiliki SIM, dan saya kira sekolah pun tahu. Tetapi kenyataan ini telanjur menjadi normal," ujarnya.
Ali Formen melihat penuntasan masalah ini bukan melulu tanggung jawab keluarga, namun ada pihak lain yang perlu dilibatkan, yaitu komunitas.
"Di sini kita butuh bukan saja keluarga sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, tetapi pelibatan komunitas. Antar keluarga bertemu, lalu saling menguatkan," katanya.
Ali menegaskan, keresahan soal anak-anak bermotor ini adalah keresahan bersama dan bukan keluarga per keluarga. Untuk ini, solusinya pun semestinya solusi kolektif.
Para keluarga perlu bertemu, misalnya di tingkat RT/RW, duduk bersama, untuk membangun kesepahaman bahwa pengendara belia adalah masalah.
"Kita tidak akan dapat memutus urusan pengendara belia ini jika kita, keluarga, dan orangtua tidak menganggapnya sebagai masalah," kata dosen sekaligus periset ini.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait