Mengenal Jenderal Hoegeng Iman Santoso, Mantan Kapolri Era Soeharto yang Terkenal Jujur dan Merakyat
JAKARTA, iNewsSemarang.id - Mengenang Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang menjabat dari 1968 hingga 1971 di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Hoegeng meninggal dunia pada usia 82 tahun di Jakarta, pada 14 Juli 2004. Jenazah polisi yang dikenal dengan kejujuran dan kedekatannya dengan rakyat tersebut dimakamkan di Taman Permakaman Bukan Umum (TPBU) Giri Tama, Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Profil Hoegeng Iman Santoso
Menurut informasi dari Perpustakaan Nasional, Hoegeng lahir di Pekalongan, Jawa Tengah pada 14 Oktober 1921.
Hoegeng memulai pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) pada usia enam tahun dan melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada 1934.
Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan di A-MS-A Westyerns klasiek di Yogyakarta pada 1937 dan mempelajari hukum di Rechts Hoge School Batavia pada 1940.
Selama pendudukan Jepang, Hoegeng mengikuti pelatihan militer Nippon pada 1942 dan setahun kemudian bergabung dengan Koto Keisatsu Ka I-Kai.
Karier kepolisiannya dimulai saat diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang pada 1944. Ia kemudian ditunjuk sebagai Kepala Polisi Jomblang dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah hingga 1946.
Setelah mengikuti pendidikan di Polisi Akademi, Hoegeng bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara atau kini Polri.
Pada 1950, ia mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, Georgia, Amerika Serikat, dan selanjutnya menjabat sebagai Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya pada 1952.
Karier Hoegeng semakin menanjak ketika ia ditunjuk sebagai Kepala Bagian Reserse Kriminal Kantor Polisi Sumatra Utara pada 1956. Empat tahun kemudian, ia mengikuti Pendidikan Brimob dan menjabat sebagai Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri Luar Negeri (1965), dan Menteri Sekretaris Kabinet Inti pada 1966.
Hoegeng kemudian menjadi Deputi Operasi Pangak dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi pada 1966. Pada 5 Mei 1968, ia diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara, menggantikan Soetjipto Joedodihardjo.
Selama masa kepemimpinannya, terjadi perubahan nama pimpinan kepolisian Indonesia berdasarkan Keppres Nomor 52 Tahun 1969.
Keppres ini mengubah sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri), serta merubah markas besar kepolisian menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabes Pol) dan sejumlah jabatan di bawah Kapolri seperti Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI (Kadapol). Perubahan juga berlaku pada sebutan Seskoak menjadi Seskopol.
Kepemimpinan Hoegeng ditandai dengan pembenahan beberapa bidang termasuk struktur organisasi Polri. Struktur baru yang diterapkan terlihat lebih dinamis dan komunikatif.
Di bawah kepemimpinannya, Polri juga semakin aktif dalam organisasi polisi internasional, International Criminal Police Organization (ICPO), yang ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.
Sosok Polisi Jujur dan Merakyat
Hoegeng dikenal sebagai sosok polisi yang jujur dan integritasnya diakui oleh banyak orang. Integritasnya tetap terjaga hingga akhir masa kepemimpinannya sebagai Kapolri pada 1971, di mana ia rela kehilangan jabatan demi menjaga harga diri.
Dalam sebuah kasus penyelundupan mobil mewah tanpa bea cukai yang melibatkan pengusaha Robby Tjahjadi, yang dekat dengan penguasa Orde Baru, Hoegeng tetap berkomitmen mengusut kasus tersebut meski ada tekanan dari pejabat untuk melepaskan Robby.
Akibatnya, Hoegeng dicopot dari jabatannya oleh Soeharto dan digantikan oleh Mohammad Hasan. Robby kemudian divonis 10 tahun penjara.
Kesederhanaan Hoegeng juga diakui oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, yang menyebutnya sebagai sosok petinggi Polri yang merakyat, sederhana, dan selalu menjaga integritas.
Megawati bercerita tentang kebiasaan Hoegeng bersepeda menuju kantor, meskipun ia adalah Kapolri, dan menganggapnya sebagai teladan terbaik.
"Saya sangat bersahabat dengan Pak Hoegeng. Saya bilang bersahabat karena putrinya sahabat saya. Saya tahu kehidupannya. Saya baru mendapat bukunya untuk mengenang beliau. Menurut saya, he is the best," ungkap Megawati.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait