JAKARTA, iNewsSemarang.id - Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Dr Zubairi Djoerban, virus Covid-19 telah bermutasi lalu menghadirkan varian-varian baru yang mungkin saja bisa lebih parah, lebih mudah menular atau lebih mematikan.
Salah satu varian baru Covid-19 yang sedang menjadi perhatian adalah Deltacron.
Varian baru Deltacron ini berasal dari varian sebelumnya yaitu Delta dan Omicron.
"Deltacron adalah varian dari Covid yang mengandung elemen dari delta dan Omicron. Dalam kata lain mengandung gen dari kombinasi kedua virus tersebut (Delta dan Omicron) disebut rekombinan," ujar Prof Zubairi kepada wartawan, Minggu (13/3/2022).
Mengapa ada Deltacron?
Prof Zubairi menerangkan, ketika seseorang terinfeksi kedua virus yang berbeda dapat memicu varian baru. Hal tersebut diketahui setelah replikasi, di mana virus Delta dan Omicron masuk ke dalam sel yang sama atau pada manusia terinfeksi Covid-19 varian keduanya.
Replikasi merupakan proses penggandaan DNA untuk memperbanyak diri. Pada fase sintesis saat interfase menjelang maka sel akan membelah.
"Apabila seseorang terinfeksi varian oleh kedua varian tersebut, kemudian masuk ke dalam sel yang sama dari orang tersebut. Nah pada replikasi muncul atau timbulah varian baru Deltacron," katanya.
Apakah lebih berbahaya dari Delta atau Omicron?
Dalam penjelasannya, dia tidak dapat memastikan apakah varian baru Deltacron ini lebih berbahaya dari varian sebelumnya.
Prof Zubairi menerangkan bahwa jumlah kasus yang terdeteksi saat ini masih sangat sedikit, sehingga belum dapat dipastikan Deltacron berbahaya atau tidak.
Dia juga mengatakan hanya beberapa negara yang memiliki pasien Deltacron, seperti Amerika dan Inggris. Namun bila melansir dari Fox News bahwa jumlah pasien Deltacron di Amerika baru 17 orang.
"Di mana virus ini ditemukan di beberapa tempat Amerika Serikat, Prancis, Denmark dan Belanda. Sedikit sekali di Amerika juga ditemukan di Inggris," kata Prof Zubairi.
Di sisi lain, WHO mengatakan Deltacron telah terdeteksi, jumlahnya sangat rendah, menurut ahli epidemiologi penyakit menular belum ada.
"Kami belum melihat perubahan dalam tingkat keparahannya. Tetapi ada banyak penelitian yang sedang berlangsung," kata Maria Van Kerkhove, dilansir dari Times of India, Minggu (13/3/2022).
Editor : Sulhanudin Attar
Artikel Terkait