DEMAK, iNewsSemarang.id - Krisis iklim bukan lagi cerita nanti/yang akan datang, tapi cerita hari ini dan dialami banyak makhluk hidup di planet Bumi. Seperti yang dirasakan oleh warga Dukuh Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Di Tahun 1970-an, desa ini makmur. Pohon kelapa, sawah padi, kebun sayur. Pendeknya, tiap jengkal tanah menghasilkan bahan pangan dan warga tak pernah alami krisis pangan. Namun, sawah terakhir yang dicatat di desa ini adalah di tahun 2016.
Selanjutnya pada tahun 2019, air laut mengepung perkampungan yang berjarak sekitar tiga kilometer dari awal garis pantai dan membuat tinggi air selutut. Sementara di tahun 2025 tinggi air ketika surut mendekati batas perut orang dewasa. Ketika air rob tinggi, jalan yang dulu bisa dilalui kendaraan roda empat, kini hanya bisa dilalui sampan. Musala hingga pemakaman pun dikepung air.
Data penduduk Dukuh Timbulsloko yang dicatat Mongabay.co.id pada tahun 2019 adalah berjumlah 3.710 jiwa, dengan warga yang telah beralih profesi dari petani menjadi nelayan dan buruh pabrik. Di tahun 2025, jumlah penduduk yang bertahan adalah berkisar 200 orang yang terdiri dari sekitar 80an Kepala Keluarga.
Warga yang bertahan di Timbulsloko dicatat memiliki daya lenting luar biasa. Meskipun dengan pendapatan terbatas, warga memprioritaskan uangnya untuk membangun mimpi hidup yang lebih baik di Timbulsloko.
Dengan sumber daya yang ada, dan modal solidaritas warga mulai membangun adaptasi krisis iklim versi rakyat. Mereka membuat jalan panggung dengan penyangga bambu dan geladak dari limbah kayu Bengkirai. Rumah-rumah dan masjid yang telah tenggelam dijadikan lantai geladak, supaya biaya peninggian lebih murah dan mudah.
Warga bertahan bukan karena mereka tidak mau meninggalkan tempat kediamannya. Mereka bertahan karena tak punya pilihan. Opsi-opsi yang ditawarkan pemerintah dirasakan kurang kondusif dan tidak menjawab kebutuhan warga.
Bantuan pemerintah daerah bagi warga sebesar sekitar Rp 30 juta sampai Rp 50 juta per keluarga tidak memadai untuk mereka pindah, atau lebih orang Jawa biasa menyebutnya dengan bedol desa.
Selain itu, warga memiliki tantangan untuk menjalankan mata pencaharian sebagai nelayan. Selain wilayah tangkap diberi pagar dan mereka harus membayar sewa, akses nelayan, khususnya nelayan perempuan pada bantuan pemerintah bagi kelompok nelayan juga terbatas karena profesi dan hak nelayan perempuan masih belum diakui.
Inisiatif adaptasi krisis iklim yang dilakukan oleh warga seharusnya dijadikan pengetahuan berharga untuk mengelola kawasan pesisir, khususnya di bagian utara Jawa Tengah.
Penyelesaian krisis iklim seperti banjir rob tidak melulu harus berupa infrastruktur raksasa seperti tanggul laut. Pengetahuan warga yang sudah berpuluh-puluh tahun hidup di pesisir dan melakukan adaptasi tanpa putus perlu menjadi pertimbangan penting bagi negara untuk mengatur dan membangun pesisir yang memberikan masa depan lebih baik bagi warga dan lingkungannya.
Deretan rumah panggung warga Desa Timbulsloko terbuat dari kayu dan bambu berdiri di atas air laut. Warga hidup dengan tempat tinggal dan lingkungan yang kurang layak huni. Dulunya kehidupan warga desa tidak se malang saat ini.
Desa Timbulsloko aslinya merupakan lahan pertanian dan perkebunan yang subur. Mayoritas warganya saat itu berprofesi sebagai petani hingga nelayan.
Namun abrasi yang berlangsung sejak tahun 1995, memaksa warga beralih profesi sebagai penambak ikan. Sayangnya, berkembangnya budidaya tambak ikan juga diikuti penebangan mangrove besar-besaran. Hal ini jadi salah satu penyebab abrasi makin memburuk dan banjir rob menelan dataran pesisir setiap hari.
Warga Desa Timbulsloko tentunya tidak ingin tinggal di tempat yang terancam tenggelam oleh air laut. Sebagian dari mereka yang berkecukupan memilih untuk meninggalkan desa.
Sayangnya, tidak semua warga seberuntung itu. Mereka yang masih menetap terjepit masalah perekonomian sehingga tidak memiliki modal untuk pindah ke tempat yang lebih layak huni.
Mereka yang bertahan harus meninggikan rumah agar tidak terendam air laut. Akses jalan yang sudah terputus dibangun ulang oleh warga menggunakan kayu dan bambu. Mereka juga menggunakan sampan untuk pergi ke daratan.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait