JAKARTA, iNewsSemarang.id – Sebuah desa terasing di Brasil memiliki budaya unik. Tidak seperti desa pada umumnya, di Noiva do Cerdeiro di Belo Vale, sekitar 300 mil sebelah utara Rio de Jeneiro wilayahnya “dikuasai” oleh para wanita cantik.
Desa di sebelah Tenggara Brasil ini dihuni oleh 600 populasi wanita. Mayoritas penghuni desa tersebut adalah perempuan. Lembah desa ini sangat indah, dipenuhi dengan rumpun jeruk keprok manis yang berkulit tebal, tanaman pisang dan pohon ipe, dengan bunga kuning cerah.
Di antara penduduk desa dengan mayoritas perempuan cantik itu juga banyak yang masih lajang dan sedang mencari cinta alias jodohnya. Tapi, menurut laporan The Telegraph, para wanita tersebut menerapkan sejumlah syarat dalam mencari pria untuk dijadikan pasangan hidup mereka.
“Di sini, satu-satunya pria yang kami temui adalah memiliki hubungan keluarga dengan kami. Semua orang adalah sepupu. Aku sudah lama tidak mencium seorang pria. Kami semua bermimpi jatuh cinta dan menikah," kata Nelma Fernandes, seorang wanita lajang berusia 23, yang merupakan salah satu penduduk di desa Noiva do Cordeiro itu.
Meski begitu, di samping banyak penduduk wanita di desa Noiva do Cordeiro yang mencari cinta, tak sedikit juga penduduk wanita di sana yang cukup bahagia untuk hidup mandiri dengan melajang. Mulai dari mengelola keuangan desa, bekerja di ladang dan menjalankan pertunjukan tanpa kehadiran laki-laki.
Salah satunya, Noelie Fernandes Pereira. Wanita lajang berusia 42 itu bisa menghasilkan uang dan menghidupi dirinya sendiri dengan mengolah sayur-sayuran, buah-buahan, dan padi yang ditanam di desa itu.
Pereira adalah salah satu dari 80 pekerja pertanian yang hampir semuanya adalah wanita. Dia kerap mengenakan topi jerami bertepi lebar untuk menghindari terik matahari tengah hari saat bekerja.
“Tempat ini istimewa karena cinta semua orang,” katanya.
Selain nyaman hidup melajang, dia juga lantas mengungkapkan alasannya mengapa belum menikah di usianya yang telah menginjak kepala empat.
"Aku hanya belum menemukan pria yang tepat,” katanya.
Desa Noica do Cordeiro, di Brasil Tenggara, memiliki 600 populasi wanita. Konon, anak laki-lakinya diusir pada usia 18 tahun dan para suami hanya diperbolehkan berada di kota itu pada akhir pekan.
Meski terdengar indah, para wanita muda di kota itu mulai memprotes rasa frustrasi mereka yang semakin besar karena ketidakhadiran pria.
Kurangnya para lelaki paruh baya yang memenuhi syarat kini telah menyebabkan banyak wanita muda lajang di desa itu untuk mengajukan banding bagi pria yang tertarik, tetapi hanya mereka yang mau beradaptasi untuk hidup di dunia wanita.
Namun, kota ini memiliki peringatan tersendiri. Peringatannya adalah pria harus menjalani hidup mereka sesuai dengan aturan wanita. Persyaratan ini yang diduga membuat pria tidak bisa menerima keinginan para wanita di sana yang mencari jodoh.
Beberapa wanita Noiva de Cordeiro diketahui sudah menikah dan memiliki keluarga, tetapi suami mereka dan setiap putra berusia di atas 18 tahun dipaksa bekerja jauh dari rumah dan hanya diizinkan kembali pada akhir pekan.
Ini berarti kekuatan perempuan berkuasa di komunitas pedesaan, dengan perempuan bertanggung jawab atas setiap aspek kehidupan, mulai dari pertanian hingga perencanaan kota dan bahkan agama. Para penduduk di sana mengatakan kota mereka jauh lebih baik untuk itu.
Kota kecil ini diketahui didirikan oleh Maria Senhorinha de Lima yang dikucilkan setelah dia melarikan diri dari pernikahan paksa. Dia juga dicap sebagai pezina pada saat yang sama.
Dia diusir dari kota pada tahun 1891 setelah gereja Katolik mengucilkannya dan lima generasi berikutnya dari keluarganya ketika dia dikurung dengan pelamar lain.
Dijauhi oleh penduduk setempat, dia dan wanita lain yang kemudian tinggal bersama mereka difitnah sebagai wanita lepas dan pelacur, menyebabkan mereka mengisolasi diri dari dunia luar.
Tak lama kemudian, wanita lain yang ditolak oleh masyarakat bergabung dengannya di kota itu. Pada 1940, seorang pendeta evangelis, Anisio Pereira, mengambil salah satu wanita, berusia 16 tahun, untuk menjadi istrinya dan mendirikan gereja di komunitas yang berkembang.
Namun, dia terus memberlakukan aturan yang ketat, melarang mereka minum alkohol, mendengarkan musik, memotong rambut atau menggunakan segala jenis kontrasepsi.
Ketika Anisio meninggal pada 1995, para wanita memutuskan untuk tidak pernah lagi membiarkan seorang pria mendikte bagaimana mereka harus hidup. Dan salah satu hal pertama yang mereka lakukan adalah membongkar agama terorganisir laki-laki yang telah dia dirikan. (mg arif)
Editor : Maulana Salman