get app
inews
Aa Read Next : Ketua KPU Disanksi Bawaslu karena Terbukti Gelembungkan Suara Partai Golkar

Wantimpres Sebut Sistem Proporsional Tertutup Kemunduran Demokrasi, Suburkan Oligarki Partai

Sabtu, 31 Desember 2022 | 16:56 WIB
header img
Waspada pencatutan NIK atau nama oleh parpol untuk daftar ke KPU. Foto: KPU RI

JAKARTA, iNewsSemarang.id – Wacana Pemilu 2024 kembali menggunakan sistem proporsional tertutup pada Pemiu 2024 mendapat sorotan dari Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Sistem proporsional tertutup dinilai akan menyuburkan oligarki partai dan mengebiri hak rakyat memilih langsung.

Meskipun di sisi lain, sistem proporsional tertutup ini lebih menghemat anggaran. Wacana sistem proporsional tertutup dalam Pemilu 2024 ini sebelumnya  dilontarkan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umurum (KPU) Hasyim Asyari.

Menurur anggota Wantimpres Henry Indraguna, sistem proporsional tertutup bakal merugikan rakyat karena mereka tidak mengenal siapa yang bakal mewakili suara mereka.

“Jika kembali ke sistem proporsional tertutup, yang terjadi tampilnya anggota-anggota parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya. Karena rakyat hanya memilih tanda gambar partai, dan siapa yang terpilih berdasarkan nomor urut teratas yang ditentukan oleh parpol," ujar Henry, Sabtu (31/12/2022).

Dikatakan, nantinya yang akan muncul yaitu kader-kader yang dekat dengan pimpinan parpol dan tidak mengakar ke rakyat. Sistem itu menurutnya bakal membuat oligarki partai merajalela dan hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri.

"Dalam sistem proporsional tertutup, perjuangannya adalah bagaimana mendapatkan nomor urut kecil, kalau bisa dapat nomor urut 1. Maka, resepnya dekat kepada pimpinan partai. Dekat kepada rakyat tidak penting, yang penting branding partai tetap kuat di dapil," ujar Henry.

"Cukup hanya tokoh utama partai yang berkampanye keliling. Partai menang, caleg nomor urut 1 terpilih. Kasihan caleg nomor 2 yang kerja keras mungkin tidak terpilih. Sementara nomor urut 3 dan seterusnya cuma pelengkap, hampir tidak ada harapan terpilih,” ucapnya.

Dia menyebut sistem proporsional terbuka memang mengakibatkan biaya politik tinggi karena persaingan antarcalon di dalam partai. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan politik uang. Padahal politik uang tidak berasal dari sistem pemilu, tapi justru pada budaya politik masyarakat dan elite itu sendiri.

Henry menyampaikan soal politik biaya tinggi itu relatif, tergantung orangnya dan daerahnya, serta campaign financing system. Dia menegaskan sekarang ada media sosial (medsos) yang bisa digunakan secara gratis untuk mengenalkan diri.

"Yang jelas, sistem proporsional terbuka menghasilkan anggota parlemen yang akuntabilitasnya kuat kepada rakyat. Kalau pun sudah terpilih, tidak ada jaminan dia bisa terpilih kembali, biar pun dapat nomor urut 1. Tergantung bagaimana penilaian rakyat terhadap kinerjanya sebagai wakil rakyat," tutur Henry.

Editor : Maulana Salman

Follow Berita iNews Semarang di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut