SEMARANG, iNewsSemarang.id – Pemilu 2024 menyisakan beragam cerita. Salah satunya datang dari Arief Maulana (49) dan Azra Aulia Nurshadrina (21), warga Bulusan Selatan, Kelurahan Bulusan, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Ayah dan anak itu ternyata bertugas sebagai Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam satu Tempat Pemungutan Suara (TPS), tepatnya TPS 15, halaman Masjid Al Ikhlas Bulusan Selatan III, Semarang.
Arief yang bertugas anggota KPPS 2 bertanggung jawab dalam mempersiapkan lima surat suara di TPS yakni Capres-Cawapres, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Anggota KPPS 2 juga bertugas mengawasi pembukaan dan menyatakan keabsahan surat suara, bekerja sama dengan Ketua KPPS.
Sedangkan Azra menjadi KPPS 4 bertugas mencatatkan hasil penelitian terhadap setiap lembar surat suara yang diumumkan oleh Ketua KPPS pada formulir catatan hasil perhitungan suara.
Meski harus ‘bekerja’ dalam satu TPS, keduaya mengaku tak terlalu tegang menjalankan tugas sesuai tanggungjawabnya sebagai KPPS.
Namun demikian, perasaan campur aduk sempat dirasakan sang anak, Azra. Dia mengaku sempat kesal hingga menangis. Momen itu terjadi ketika proses rekapitulasi suara memasuki tahap akhir.
“Kalau saya kan di IT, kerjanya komunikasi lewat aplikasi. jamnya hampir sama untuk mengupload. Ketika jamnya kelihatannya kosong, kita penginnya cepat selesai dan penandatanganan kemarin kan banyak, meggandakan banyak,” kata Azra, Kamis (15/2/2024) malam.
“Kita dari IT untuk Sirekap pengin langsung upload-upload, tapi mungkin karena memang capek banget seharian full, papa juga kondisinya lagi capek. Nah waktu tanda tangan ya lumayan kesal kok malah tidur-tiduran, saya sendiri kan juga capek tapi biar cepat selesai diupload,” katanya.
Atas kondisi tersebut, dia pun tak kuasa menahan tangis. “Makanya kalau saya lagi kesal larinya ke nangis. Saya juga sempat nangis pas terakhir mau ngasih ke saksi, saya takut ada yang ketinggalan, tapi kok kayaknya saya sudah ngeprint yang pas kayak itu,” ujarnya.
Namun demikian, keterlibatan sang ayah diakuinya sangat membantu sekaligus menjadi dorongan motivasi dalam melaksanakan tugas sebagai KPPS. Sebab bagaimanapun dia baru pertama kalinya terlibat langsung dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya sebagai anggota KPPS.
“Saya kan baru pertama kali dan ikut pencoblosan presiden kan juga baru pertama kali ini, kemarin pernah ikut yang Pilwalkot. Pertama kali ditawari jadi petugas KPPS, saya iyakan karena waktu itu saya lagi libur,” ungkap Azra.
“Kalau sama papa jadi terarah, ya lebih terbantu. Kalau kerja baru pertama kali gak ada yang ngarahin, seakan tersesat. Pengalaman kan saya juga baru banget Saya diberi arahan soal gambarannya,” ujar mahasiswi Sastra Inggris Undip ini.
Azra juga mengaku tak kikuk (tegang) meski sama-sama bertugas sebagai KPPS bersama sang ayah dalam satu TPS. Hal itu karena perbedaan dalam menjalankan tugas.
“Tidak ada rasa kikuk karena saya kan di IT kalau papa yang KPPS 2, kerjanya kan agak beda. Misalnya butuh bantuan tanya papa. Ini gimana papa jelasin jadi ga kikuk,” ungkapnya.
Di sisi lain, dia mengaku senang selama menjadi anggota KPPS karena bisa lebih mengenal masyarakat terutama tetangga. “Enaknya ya mungkin ketemu sama tetangga. Di rumah kan jarang keluar, kalau keluar pas lagi ada kegiatan kampus, sering gak ketemu sama tetangga. Lihat DPT nama-namanya oh ternayata sudah gede, dulu masih kecil sekarang sudah gede,” ujarnya.
Arief Maulana (49) dan Azra Aulia Nurshadrina (21), ayah adan anak yang jadi KPPS di TPS 15 Bulusan Tembalang Semarang. (IST)
Sementara itu, bagi Arief menjadi KPPS bukan yang pertama kali. Dia pernah menjadi KPPS saat Pemilu 2009 hingga 2024. Namun Pemilu 2024 kali ini dirasakan berbeda dengan Pemilu sebelumnya.
“Ya kalau saya sih pengalaman untuk Pemilu sudah beberapa kali. Cuma sekarang memang benar-benar manual. Dan ini pengalaman beda lagi, ternyata harus menggunakan sistem yang baru, dulu tidak saya dapatkan,” kata Arief.
“Pengalaman kedua, saya ikut sertakan anak saya jadi panitia (KPPS). Anak saya tawari dia mau ya sudah kita ajak. Niat saya sebenarnya untuk menambah pengalaman dia lebih tahu pengalaman dan bersosialisasi termasuk organisasi terhadap keikutsertaan pemilu,” ujarnya.
Pada Prinsipnya, dia ingin memberikan pengalaman baru pada anak agar supaya mempunyai pengetahuan baru terhadap sistem kepemiluan di Indonesia, bersosialisasi terhadap lingkungannya dan tambah peduli. “Ya saya senang saja lihat anak saya jadi tergerak ikut kegiatan di KPPS,” ujarnya.
“Selama proses, di KPPS itu ada 7 dalam tugas masing-masing, alhamdulillah secara kinerja tim bagus saling dukung mendukung apabila permasalahan kurang paham kita bisa bantu kita tanyakan PPS. Semua anggota saling terlibat, bagi tugas, semua terbantu,” ujar pria yang bekerja sebagai konsultan teknik ini.
Arief menceritakan lika-liku sebagai petugas KPPS sebelum hari H pencoblosan. Menurutnya pada awal pembagian DPT bisa lebih tahu karena selama ini kegiatan disibukkan masing-masing anggota.
“Selain itu perubahan warga di tempat kami karena banyak warga pendatang, kemudian kos kontrak dan sebagainya, kita jadi tahu, kenal, silaturahmi dengan warga yang tadinya jarang ketemu. Dalam pelaksanaan kita juga lebih akrab, tahu situasi lingkungan. Warga yang biasanya jarang keluar jadi kita tahu,” ujarnya.
Dia juga mengungkapkan soal waktu yang ternyata memang sama. Namun dia tidak punya bayangan. “Yang terdahulu paling maksimal jam 8 selesai, kita baru kirim ke PPS/PPK, tapi ternyata yang tadinya saya sempat meragukan kata-kata nanti selesainya lama, ternyata lama benar. Setelah kita jalani memang benar sampai menjelang subuh baru selesai,” katanya.
Atas berbagai persoalan yang masih mewarnai pelaksanaan Pemilu 2024, dia pun memberikan sejumlah masukan kepada KPU. “Sedikit masukan dari saya, karena memang niatan pemerintah sebenarnya untuk meringankan distribusi, jadi dikumpulkan Pilpres dan Pileg,” ujar Arief.
Dia mengatakan, secara waktu sebenarnya bagus, bisa satu kali kerja. Cuma menurutnya, karena jumlah DPT di tempatnya cukup banyak ya caranya mungkin TPS nya diperbanyak otomatis untuk penghitungan/rekapitulasi bisa lebih sedikit, waktunya lebih cepat. Jadi untuk tenaga pikiran yang dikeluarkan juga tidak terlalu makan waktu.
“Kalau saya pribadi kalau selama nanti sistemnya masih saya kemungkinan kapok. Satu, usia yang sudah mendekati kepala 5, jadi kalau dibandingkan yang muda-muda, secara fisik agak kurang. Sarannya, untuk KPPS nanti dicari tim dengan anggota KPPS yang muda jadi lebih fit secara fisik dan lebih bugar.
Dan apabila menggunakan Sirekap otomatis yang paham aplikasi juga untuk tenaga IT dan juga ditambahkan untuk pelatihannya. Dari awal ditambah agar mereka lebih paham lebih dulu, kayak di training beberapa kali sampai paham jadi bisa mempersingkat waktu.
“Kalau sistemnya belum berubah, saya terus terang kapok karena kemungkunan next waktunya juga sama, kecualinya sistemnya dirubah atau mungkin waktu pencoblosan dan penghitungan dibedakan. Misal hari ini pencoblosan, besoknya baru penghitungan biar ngirit tenaga,” kata Arief.
“Kalau masalah honor kan mungkin bisa dibagi. Tidak perlu honornya ditinggikan tapi jumlah DPT nya tetap banyak sama saja nanti hasilnya seharian penuh. Bagi kami kalau usia sudah masuk kepala 5 memang terasa berat. Karena memang mau tidak mau kita butuh istirahat juga,” jelasnya.
Di sisi lain, untuk ‘mengakali’ agar kondisi tetap sehat dan bugar selama proses penghitungan hingga rekapitulasi suara, dia mencuri waktu untuk beristirahat meski hanya sejenak.
“Kalau bisa istirahat ya istirahat sebentar. Cuma ya aitu tadi, karena kita dikejar waktu banyak yang harus diselesaikan ya mau tidak mau kadang-kadang kasihan juga petugas yang lain terutama tim IT yang harus upload, rekap. Sedangkan dari system sirekap sendiri semuanya kalu di waktu bebarengan biasa done signal, internetnya terganggu,” ujar bapak dua anak ini.
Editor : Maulana Salman