Tradisi Malam 1 Suro
Melansir buku 'Adiluhung' terbitan Danista Perdana, perayaan malam 1 Suro pada masyarakat Jawa di Surakarta (Solo) dilakukan dengan membawa kebo bule (kerbau putih) dalam arakan kirab. Kehadiran kerbau itu menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat.
Kemudian, bila di Yogyakarta, malam 1 Suro dirayakan dengan membawa benda-benda pusaka, seperti keris dalam arak-arakan kirab. Tradisi ini menitikberatkan pada ketenteraman batin dan keselamatan sehingga diselingi doa dalam ritualnya.
Larangan Malam 1 Suro
Di Indonesia khususnya dalam masyarakat Jawa, Sura atau Suro identik dengan suasana keramat, sakral dan mistis. Mereka juga dilarang keluar rumah pada malam 1 Suro karena dikhawatirkan roh-roh atau makhluk ghaib berkeliaran bebas.
Sehingga, dikhawatirkan akan memengaruhi orang yang keluar rumah pada malam1 Suro sehingga akan berdampak buruk pada perilakukan.
Muhammad Sholikhin dalam bukunya Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam-Jawa (2010) dilansir dari pcnucilacap, Bulan Muharram adalah nama bulan pertama pada sistem penanggalan hijriah yang oleh Sultan dinamakan sebagai Bulan Suro.
Kata Suro merupakan sebutan bagi bulan Muharram dalam masyarakat Jawa, yang sebenarnya berasal dari kata “asyura” dalam bahasa Arab yang berati “sepuluh”, yang dirujukkan kepada tanggal 10 bulan Muharram.
Asyura dalam lidah masyarakat Jawa menjadi Suro. Sehingga, kata Suro sebagai khasanah Islam-Jawa sebagai nama bulan pertama kalender Islam maupun Jawa.
Bulan Suro bagi masyarakat khususnya masyarakat Jawa dianggap sebagai bulan keramat atau sakral. Kekeramatan bulan Suro yang secara turun temurun diakui dan menimbulkan kepercayaan bahwa bentuk-bentuk kegiatan seperti pernikahan, hajatan dan sebagainya tidak berani dilakukan.
Editor : Ahmad Antoni