SEMARANG, iNewsSemarang.id - Jam’iyyah Perempuan Pengasuh Pesantren dan Muballighoh (JPPPM) kembali meneguhkan komitmennya dalam melestarikan tradisi intelektual pesantren salaf melalui program unggulan Bahtsul Masail. Acara ini berlangsung sebagai bagian dari rangkaian peringatan Hari Lahir JPPPM di Pondok Pesantren Darussalam, Gebugan, Bergas, Kabupaten Semarang.
Bahtsul Masail, yang telah menjadi ikon JPPPM di bidang kajian kitab, tidak hanya melestarikan nilai-nilai turats (warisan intelektual Islam) tetapi juga menjadi ruang diskusi mendalam tentang isu-isu keagamaan kontemporer. Dengan tema besar “Meneguhkan Tafaqquh Fi Din dan Menebar Maslahat untuk Umat”, acara ini menjadi bukti nyata dedikasi JPPPM dalam mempertahankan keilmuan pesantren yang diwariskan oleh ulama salaf.
Acara ini menghadirkan Tim Kajian Kitab JPPPM, yang terdiri dari tokoh-tokoh perempuan pesantren terkemuka, termasuk Ning Mila Minhatul Maula (Grobogan), Ning Nur Amiroh (Grobogan), Ning Aida Fahmi (Mlangi, Yogyakarta), Ning Ummy Atika (Kediri), Ning Hj. Sheila Hasina (Lirboyo, Kediri), Ning Imaz Fatimah (Kediri), dan lainnya.
Ketua Umum JPPPM, Nyai Hj. Hannik Maftukhah Afif, dalam sambutannya menegaskan pentingnya Bahtsul Masail untuk menjaga kelestarian kitab kuning sebagai rujukan utama di pesantren.
“Bahtsul Masail adalah wujud nyata dari semangat tafakkur dan tadabbur dalam menjawab tantangan zaman. Melalui program ini, kita tidak hanya menjaga turats, tetapi juga menumbuhkan semangat para bu nyai, nawaning, dan santri untuk terus menggali hikmah dalam kitab-kitab kuning,” ujarnya, Minggu (1/12/2024).
Dalam kesempatan tersebut, Hj Hannik Maftukhah mengutip maqalah dari Imam Ibnu Taimiyah, yang menyatakan, melestarikan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik menjadi landasan utama dalam setiap kajian.
Dengan pendekatan ini, lanjutnya, Bahtsul Masail juga menjadi wadah untuk mengimplementasikan ajaran kitab kuning dalam konteks modern tanpa kehilangan esensi syariahnya.
Ia mengungkapkan, Bahtsul Masail juga mengusung misi besar untuk melahirkan santri dengan kemampuan multitalenta yang mampu menjawab persoalan zaman.
Dengan mengangkat tema seperti Kontekstualisasi Turats dalam Istinbath Hukum Islam di Indonesia, acara ini membekali peserta dengan keterampilan istinbath (menggali hukum) dari kitab-kitab klasik yang diselaraskan dengan realitas kontemporer.
“Santri yang berbasis salaf harus mampu menjadi pribadi yang diperhitungkan, tidak hanya di lingkungan pesantren tetapi juga di kancah nasional maupun internasional,” tandasnya.
“Kehadiran para bu nyai ini membuktikan bahwa perempuan pesantren memiliki kontribusi besar dalam bidang intelektual Islam. Semoga Bahtsul Masail ini menjadi amal jariyah kita semua, menjadi inspirasi bagi generasi muda, dan mencatat sejarah bahwa perempuan mampu berkreasi dalam bidang keilmuan,” sambung dia.
Dikatakan, melalui Bahtsul Masail, JPPPM berharap tradisi keilmuan ini terus diwariskan kepada generasi muda. Tidak hanya sekadar kajian, tetapi juga menjadi pondasi kuat untuk mencetak generasi „alimah, perempuan-perempuan berilmu yang mampu menebar manfaat luas bagi umat.
Hannik membeberkan, dengan semangat fastabiqul khairat, Bahtsul Masail tahun ini telah menghasilkan keputusan-keputusan penting yang dirangkum dalam buku panduan khusus untuk para santri dan pengasuh. Keputusan ini tidak hanya menjadi acuan, tetapi juga sumber inspirasi dalam menjalankan aktivitas keilmuan di pesantren dan masyarakat luas.
"Semoga Bahtsul Masail terus menjadi cahaya yang menerangi perjalanan JPPPM dalam melestarikan tradisi pesantren salaf dan memberikan maslahat bagi umat," harapnya.
Ketua Bahtsul Masail Putri (BMP), Ning Hj. Mila Minhatul Maula, menekankan bahwa Bahtsul Masail merupakan tradisi intelektual yang harus terus dijaga oleh generasi pesantren.
“Kita akan terus berusaha untuk melestarikan tradisi dari para pendahulu kita, para kyai dan ulama nahdliyin, untuk selalu musyawarah dan diskusi dalam menyikapi permasalahan umat. Melalui Bahtsul Masail Putri ini, semoga dapat menggairahkan himmah ghirroh para perempuan pesantren untuk tanggap pada hal-hal yang terjadi di masyarakat, khususnya permasalahan kewanitaan. Sehingga tidak memberikan kesan bahwa Bahtsul Masail adalah kerjaan para kyai, karena sejatinya dalam ilmu tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun perempuan,” tegas Ning Mila.
Sambutan Ning Mila mendapat apresiasi dari para peserta yang terdiri dari bu nyai, nawaning, pengurus pesantren, dan santri. Ning Halimatus Sadiyah dari Temanggung yang merupakan salah satu peserta merasa bahwa Bahtsul Masail memberikan ruang bagi perempuan pesantren untuk berkontribusi dalam dunia intelektual Islam, sejajar dengan para ulama laki-laki.
Editor : Agus Riyadi