SEMARANG, iNewsSemarang.id – Kisah perjuangan heroik datang dari Sri Sudarni (98) dan Meini Hartoso (94). Keduanya merupakan pejuang Kemerdekaan Wanita Indonesia di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Usai yang hampir 100 tahun dengan tubuh yang meronta tak membuat mereka lekang. Kedua srikandi itu tetap punya semangat pantang menyerah.
Sri Sudarni kelahiran tahun 1927 berjuang sejak 1945 yang saat itu usianya masih 18 tahun. Dia tergabung dalam Barisan Palang Merah yang membantu menangani para korban perang di pihak pejuang dan rakyat Indonesia.
Dia ikut berjuang dimana tempat terjadi pertempuran sengit tentara Pejuang Kemerdekaan dengan tentara Belanda. Berbagai tempat peperangan dia datangi hampir menyeluruh di kota-kota besar Jawa Tengah, untuk menangani korban luka-luka hingga yang gugur di medang perang.
Menurutnya, perang sangat kejam, karena orang saling membunuh. Namun perang tak bisa dihindarkan Ketika rakyat hidup sengsara karena dijajah.
Meini Hartoso (94), saat menerima kunjungan Piveri. (Ist)
Hal itu diungkapkan oleh Sri Sudarni saat menerima kunjungan Ketua LVRI (Legiun Veteran RI) Kota Semarang Kol Purn Bambang Priyoko SIP beserta Ketua Piveri Kota Semarang Dr Hj Diah Anggraeni SH MM saat anjangsana dalam rangka Peringatan HUT Ke-68 LVRI, belum lama ini.
Tanpa perjuangan gigih para pejuang kemerdekaan, sudah pasti tidak akan ada negara namanya Indonesia. Sri Sudarni, telah banyak darah tertumpah di arena peperangan. Korbannya tidak saja para pejuang dari tentara maupun laskar-laskar, melainkan juga masyarakat terdiri dari anak-anak, kaum perempuan dan usia lanjut.
Semua itu menyisakan kepedihan mendalam. Hanya semangat ingin merdeka lah yang membuat kuat bersatu padu berjuang untuk mencapai merdeka dengan mengalahkan dan mengusir penjajah.
Sudarni ternyata memiliki kawan bernama Meini Hartoso yang usianya di bawahnya, yakni 94 tahun dan kini tinggal di Jalan Arjuna Raya Semarang.
Berbeda dengan Sudarni, Meini yang ketika itu berumur 14 tahun sudah ikut berjuang sebagai mata-mata pejuang dan penyelundup amunisi ke hutan-hutan tempat para pejuang bergerilya.
Meini tergabung dalam Barisan Tentara Pelajar, tugasnya lebih menantang karena penuh resiko. Menurut kisahnya, dia berjuang hingga keluar masuk Hutan Alas Roban meyelundupkan peluru dan granat ke markas pejuang di dalam hutan.
Pernah suatu ketika diadang tentara Belanda, namun karena saat itu tubuhnya kecil mungil dan imut-imut, oleh tentara Belanda justru diberi roti dan permen.
Tetapi, pernah suatu ketika dia justru mendapat perlakuan kasar dengan ditampar oleh tentara Belanda yang mengamuk mencari pemuda. Karena tak mendapatkan informasi apa-apa tentara tersebut mengamuk membabi buta.
Meski banyak tantangan dan ancaman, Meini tetap teguh dalam perjuangannya. Hingga kini tubuhnya makin rapuh, namun jiwa dan semangatnya menolak rapuh. Dia tetap bersemangat karena daya juangnya yang masih tertanam di lubuk hatinya.
Kini Meini hanya bisa duduk di kursi roda, setiap saat masih ada anak-anak pejuang Tentara Pelajar yang tergabung dalam organisasi Tunas Patria datang menyambanginya.
Pikirannya digerogoti kepikunan, namun kadang memori perjuangannya muncul dan dirinya mengsahkannya sendiri. Bertanya tentang kawan-kawan seperjuangannya dan masih lantang memekikkan Merdeka.
Saat Ketua LVRI Kota Semarang dan Ketua Piveri datang ke rumahnya, sejak pagi Meini sudah bersiap menyambutnya dengan seragam kebesaran Legiun Veteran. Namun dirinya akhirnya kecapekan menunggu dan lelap tertidur.
Tamu yang dinantinya ternyata harus mengunjungi rekan seperjuangan lainnya sebelum tiba di kediaman Meini. Banyak mereka, diantaranya Sri Sudarni menitipkan salam untuk Meini karena untuk bertemu sudah tidak mungkin karena mereka sudah kesulitan jalan.
Maka saat Kol Purn Bambang Priyoko dan istri tiba, Meini tetap semangat menyambutnya. Bahkan saat mendengar pekik merdeka, dia juga spontan membalas pekik Merdeka.
Kunjungan Bambang Priyoko dan Diah Anggraeni ini merupakan bentuk apresiasi kepada para Pejuang Kemerdekaan RI. Di antaranya Kapten CPM Sanjoto mantan pengaman rute gerilya Jenderal Sudirman, Lettu CPM Sumardi pelaku peledakan jembatan Bedog saat Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta.
Kemudian Sri Sudarni, Meini Hartojo, Ray Endang Sarwosih yang merupakan pejuang wanita, Suparman, Sugiono, Maryanto, Slamet RSc, Roeslan dan Sugiyarto.
Editor : Ahmad Antoni