Ada 12 Temuan, KPAI Desak Dedi Mulyadi Setop Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer

JAKARTA, iNewsSemarang.id - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapatkan temuan terkait Program Pendidikan Karakter Pancawaluya Jawa Barat Istimewa yang digagas Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Pihaknya merekomendasikan agar program pendidikan anak di barak militer dihentikan sementara karena perlu dievaluasi secara menyeluruh.
"Program Pendidikan Karakter Pancawaluya Jawa Barat Istimewa yang telah berjalan saat ini cukup dilakukan untuk satu tahap saat ini, dan tahap selanjutnya perlu dilakukan evaluasi menyeluruh," ujar Wakil Ketua KPAI Jasra Putra saat jumpa pers secara daring, Jumat (16/5/2025).
Ia mengatakan, evaluasi perlu dilakukan untuk merumuskan model program serta standar yang sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan anak. Jasra menekankan agar fokus evaluasi meliputi hamonisasi regulasi.
Kemudian, definisi, kriteria, indikator, anak yang membutuhkan pelindungan khusus; partisipasiaAnak; adanya asesmen psikologi; struktur program; mekanisme pembelajaran mata pelajaran sekolah; ketersediaan sarana dan prasarana pendukun; hingga adanya sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi dalam perlindungan anak.
Evaluasi itu dirumuskan dari temuan KPAI setelah melakukan pemantauan terhadap Program Pendidikan Karakter Pancawaluya Jawa Barat. Pemantauan dilakukan di Barak Militer Resimen 1 Sthira Yudha Purwakarta dan Depo Pendidikan Bela Negara Rindam III Siliwangi, Cikole, Kabupaten Bandung Barat.
Rincian temuan KPAI terhadap program pelatihan anak di barak militer ala Dedi Mulyadi sebagai berikut:
1. Belum optimalnya perhatian terhadap regulasi yang mengatur perlindungan anak, seperti Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak. Ketidaksesuaian ini berdampak pada munculnya stigma serta pelabelan yang bersifat diskriminatif terhadap anak dan minimnya ruang partisipasi anak dalam program tersebut.
2. Belum terdapat standar baku yang menjadi acuan dalam penyelenggaraan program, seperti belum ada panduan, petunjuk teknis (juknis) dan Standar Operasional Prosedur (SOP). Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan pola pelaksanaan di 2 (dua) program yang dikunjungi.
Perbedaan tersebut mencakup struktur program, ketersediaan sarana prasarana, rasio antara peserta dan pembina, serta metode pengajaran mata pelajaran sekolah yang tidak seragam meskipun berasal dari jenjang kelas dan jurusan yang berbeda. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memengaruhi mutu hasil dari program secara keseluruhan.
3. Struktur program pendidikan karakter yang diterapkan di 2 lokasi yaitu Barak Militer Resimen 1 Sthira Yudha Purwakarta dan Depo Pendidikan Bela negara Rindam III Siliwangi, Cikole Kabupaten Bandung Barat, dinilai cukup baik. Program ini memuat unsur-unsur penting seperti pendidikan bela negara, penguatan mental, spiritual dan sosial, pembentukan kedisiplinan, peningkatan kemandirian, serta penguatan nilai-nilai kebangsaan.
4. Seluruh peserta program Pendidikan Karakter Panca Waluya Jawa Barat Istimewa berasal dari kalangan siswa usia SMP/MTs dan SMA/MA/SMK yang tercatat aktif dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Padahal, masih terdapat banyak anak dengan kondisi rentan berlapis lainnya yang juga membutuhkan perlindungan khusus, namun belum terjangkau oleh program ini.
5. Berdasarkan latar belakang para siswa yang mengikuti program di dua lokasi barak militer, yakni di Lembang dan Purwakarta, faktor penyebab utama mereka masuk ke dalam program ini adalah karena kebiasaan merokok, disusul oleh perilaku sering membolos sekolah, dan di urutan ketiga adalah keterlibatan dalam tawuran. Selain itu, sebanyak 6,7% siswa menyatakan tidak mengetahui alasan mereka mengikuti program. Temuan ini menunjukkan perlunya peninjauan kembali terhadap ketepatan sasaran peserta dalam pelaksanaan program.
6. Peserta program tidak ditentukan berdasarkan asesmen psikolog professional, melainkan hanya rekomendasi guru BK. Bahkan, ada ancaman bahwa siswa yang menolak mengikuti program bida tidak naik kelas.
7. Hasil wawancara sampel anak di dua lokasi pengawasan mengungkapkan bahwa perilaku menyimpang anak banyak dipengaruhi oleh kurang optimalnya pengasuhan di lingkungan keluarga. Hal ini disebabkan oleh kesibukan orang tua, perceraian, tidak tinggal bersama orang tua, serta harapan anak untuk mendapatkan bimbingan dari figur ayah. Selain itu, pengaruh teman sebaya dan lingkungan sekitar juga turut berperan.
8. Hasil diskusi dengan Dinas terkait mengungkapkan bahwa kekurangan Psikolog Profesional, Pekerja Sosial, dan Guru BK menyebabkan layanan konseling bagi anak dan siswa tidak berjalan secara maksimal.
9. Perangkat UPTD PPA, Puspaga, dan PATBM, Tim PPKSP belum berfungsi optimal karena keterbatasan sumber daya manusia dan dukungan anggaran.
10. Tidak semua Pembina memahami protokol Child Safeguarding.
11. Tidak ada kehadiran tenaga medis dan ahli gizi secara tetap di Dodik Bela Negara di Bandung.
12. Keterlibatan OPD tingkat provinsi dalam program yang dilaksanakan di Dodik Bela Negara di Bandung, belum optimal.
(Arni Sulistiyowati)
Editor : Maulana Salman