MAKASSAR,iNewsSemarang.id- Najamuddin lahir dan besar dari keluarga miskin yang tinggal di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Sejak kecil, dia harus membantu orang tuanya menggarap lahan sawah dan juga bekerja sebagai kuli panggul.
Maklum, ayahnya Jafarruddin dan Hj. Sanong, yang hanya memiliki beberapa petak sawah, harus membiayai 11 anaknya sehingga sangat keteteran mencukupi kebutuhan keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, sulitnya bukan main.
Saat duduk di bangku sekolah dasar, setelah shalat Subuh, Naja, demikian nama panggilannya, sudah meninggalkan rumah, menyisir tiap jengkal semak belukar pedalaman di pinggiran kampung. Ia mencari buah kelapa yang mungkin jatuh.
Jika beruntung, kelapa tersebut ditenteng ke sekolah untuk ditukar dengan kue janda yang menjadi jajanan favorit saat itu. Kalau nasib lagi sial, terpaksa harus gigit jari menyaksikan teman-teman lainnya menikmati kue janda dikala istirahat.
Segera setelah pulang sekolah, Naja sudah ada di pinggiran kampung menggembala kerbau. Di kala musim tanam padi tiba, Naja harus ikut membantu orang tua membajak sawah.
“Pernah suatu ketika, saya membajak sawah pada jam dua malam sebab keesokan harinya harus ikut ulangan di sekolah,” kata Naja.
Setelah tamat SMP dia menjadi kuli angkut, kuli bangunan dan melakoni pekerjaan orang dewasa lainnya. Saat truk angkutan barang dari Makassar tiba, bersama beberapa orang di kampung menjadi kuli angkut barang dari mobil ke toko-toko di sepanjang jalan di Belopa sampai di Bajo. Najamuddin adalah kuli termuda.
Sebagai anak kedua dari keluarga miskin di desa terpencil, Naja tidak pernah merasa risih apalagi gengsi melakukan pekerjaan yang menurut orang lain adalah pekerjaan kasar. Semua pekerjaan ini dilakoni hingga Najamuddin menamatkan bangku SMA di 1 Belopa.
“Saya tidak menyesal terlahir dan dibesarkan dari keluarga petani yang miskin,” kata pria yang tinggal di Kompleks Bumi Permata Hijau Makassar.
Meskipun sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja di luar jam sekolah, Najamuddin remaja tidak pernah tinggal kelas, bahkan selalu menjadi juara kelas. Ia berprinsip, biarpun anak desa, tetapi harus selalu tampil beda.
“Saya orang yang selalu ingin menjadi yang terbaik,” ujar pria kelahiran 23 Februari 1968 ini.
Selepas SMA, Najamuddin melanjutkan pendidikan ke Universitas Muslim Indonesia MAkassar. Di sana, Naja mengambil jurusan hukum. Semester awal adalah masa paling berat bagi Naja saat itu. Sebagaimana mahasiswa di rantau yang mengandalkan kiriman dari orang tua, Naja tidak punya pengalaman demikian. Jangankan mengirimi uang, untuk hidup keluarga saja di kampung sangat berat.
Pada saat yang sama, Naja tidak punya pilihan. la harus melanjutkan hidup di Makassar. Hal ini lagi-lagi memaksanya memutar otak menemukan siasat bertahan hidup untuk membiayai kuliah. Naja pun lalu memilih bergabung dalam kelompok pengusaha di Makassar.
Dari sinilah, perlahan namun pasti, insting bisnis Najamuddin makin matang. Beberapa tahun setelah kuliah, Naja memilih hijrah ke Soroako. Disana ia dipercaya beberapa pengusaha lokal mengelola perusahaannya. Naja sempat mengendalikan empat perusahaan kontraktor di Soroako.
Setelah mengetahui seluk beluk dunia kontraktor lebih mendetail, Naja pun mendirikan perusahaan kontraktor sendiri. Dalam rentang waktu lima tahun, Naja menjadi pengusaha kontraktor sukses di PT Inco Soroako.
Tak berhenti disitu, Naja lalu mendirikan perusahaan penyedia jasa pengamanan. Perusahaan penyedia jasa pengamanannya mengalami perkembangan pesat. Saat ini, PT BPI sudah memiliki karyawan kurang lebih seribu orang yang dipekerjakan di perusahaan perusahaan BUMN dan swasta di hampir seluruh ka-bupaten di Sulawesi Selatan.
Setelah dirasa cukup mapan, dua tahun terakhir, Naja lalu memilih melakukan ekspansi ke Makassar. Tak butuh waktu lama, perusahaan Naja mampu mengambil peran penting di Makassar. Saat ini, perusahaannya merupakan salah satu mitra PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD), sebuah perusahaan konstruksi berskala nasional.
Perjalanan hidupnya yang begitu pelik, keras dan penuh warna, membentuk sosok Naja menjadi pribadi pemikir dan pekerja keras. Tak pernah terlintas di benaknya, bahwa kelak akan mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin di tanah Luwu.
“Jangankan menjadi walikota ataupun Bupati, terfikir untuk menjadi kepala desa saja, saya tidak pernah. Banyangkan, untuk makan saja keluarga saya mengalami kekurangan. bagaimana mungin anak seorang petani miskin akan berfikir menjadi pemimpin saat itu,” pungkasnya.
Editor : Maulana Salman
Artikel Terkait