SEMARANG, iNewsSemarang.id - Satu Minggu usai hari raya Idul Fitri, ada tradisi unik yang biasa disebut perayaan syawalan di kawasan Kampung Tanjungsari Pedurungan kota Semarang. Perayaan syawalan ini dikenal juga dengan nama lebaran ketupat (kupat dalam bahasa Jawa). Tradisi syawalan unik itu disebut tradisi kupat jembut.
Lebaran di Kota Semarang rasanya belum lengkap dengan hidangan lebaran yang satu ini. Meski namanya bikin salah fokus, namun menu kuliner yang satu ini sangat masyhur di Semarang. Apa itu? Ya, namanya Kupat Jembut.
Kupat ini dibuat dari bungkus daun kelapa muda (janur). Ketupat berbentuk segi empat ini dibelah diagonal namun tidak putus. Lalu di dalamnya disisipkan tauge dimasukkan ke dalamnya hingga tampilannya seperti organ kelamin perempuan.
Awalnya, isian ketupat hanyalah tauge karena saat awal tradisi ini dimulai warga hanya punya tauge untuk jadi isian ketupat. Dalam perkembangannya tambahan kubis (kol) dan kacang-kacangan.
Karena di dalamnya sudah ada sayur dan bumbu, kupat jembut ini sudah terasa lezat meski tak ditambahkan opor ayam atau sayur bersantan lainnya.
Kupat Jembut ini biasanya dibagikan saat perayaan syawalan di Tanjungsari, Pedurungan, Semarang. Tanpa bermaksud negatif, Kupat Jembut ini hanyalah salah satu jenis ketupat yang berisi sayuran kecambah atau tauge dan sambal kelapa di dalamnya.
Adapun filosofi tauge dan sambal kelapa dimaksudkan untuk melambangkan sebuah kesederhanaan dalam hidup dengan tidak melulu bermewah-mewahan. Sedangkan dibelah tengah dan dimasukkan isi dimaksudkan bahwa antar warga sudah saling melepas kesalahan.
Meski namanya membuat salah fokus, tradisi kuliner ini ternyata sudah mengakar di Kampung Tanjungsari, Pedurungan Tengah, Semarang sejak puluhan tahun lalu atau sekitar tahun 1950 silam.
Keberadaan Kupat Jembut merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas berkah yang diberikan selama bulan Ramadhan.
"Kupat Jembut merupakan sebuah simbol kesederhanaan. Sebab, kupat tersebut digunakan untuk merayakan Syawalan, tanpa opor sebagaimana tradisi di Jawa yang identik dengan lontong opor. Mengingat pembuatan kupat ini jelas lebih murah dibanding untuk membuat lontong opor," ujar Danniz, warga Pedurungan Tengah, Sabtu (29/4/2023).
Uniknya, tradisi kupat ini hanya ada sekali dalam setahun di Kota Semarang. Lebih tepatnya pada hari H+7 Lebaran atau Idul Fitri.
Dalam perkembangannya, untuk THR anak-anak, beberapa orang juga kerap menyelipkan uang ke dalam ketupat jembut ini. Ketupat ini pun dibagikan ke anak-anak dan mereka akan berebut untuk mendapatkannya.
Tradisi menyisipkan uang dalam kupat jembut ini dimulai sejak tahun 2000. Bukan cuma untuk memeriahkan perayaan, tapi pemberian uang ini juga dimaknai sebagai sedekah dan ungkapan syukur atas rahmat Allah Swt sekaligus untuk pelengkap ibadah puasa.
Ketupat tersebut dibagikan untuk orang dewasa dan anak-anak. Uniknya ada juga warga yang mengisi ketupat dengan uang receh. Anak-anak yang berebut pun gembira dan saling bersaing mendapatkan ketupat serta uang terbanyak.
Memang banyak versi penyebutan nama kupat tersebut. Namun, karena kampung Tanjungsari Pedurungan Tengah ini lebih religius, lebih nyaman menyebut Kupat Tauge daripada Kupat Jembut.
Tradisi unik ini tak hanya berada di Kampung Tanjungsari.
Di sejumlah titik di Kelurahan Pedurungan Tengah dan daerah sisi timur Kota Semarang juga menggelar hal serupa. (Alim)
Editor : Agus Riyadi
Artikel Terkait