JAKARTA, iNews.id – Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan melintasi lautan dengan penuh penderitaan. Saat itu, ia dikawal oleh ajudan Van den Bosch, Letnan Dua Knoerle, seorang perwira berdarah Jerman.
Semua kisah duka dan kesakitan Pangeran Diponegoro dicatat dalam catatan harian Knoerle.
Menurut catatan itu, dalam lima hari pertama perjalanan, empat dari 50 anggota pasukan yang mengawal Diponegoro meninggal dunia. Upacara pemakaman mereka dengan pasukan kehormatan berlangsung lambat.
Bunyi genderang dari upacara tersebut terdengar jelas di kamar Pangeran yang berada di bawah geladak belakang kapal.
Sejarawan Peter Carey, penulis buku "P.Diponegoro, Takdir dan Kuasa Ramalan," menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro terbaring lemah karena demam malaria, dan muntah-muntah karena mabuk laut, menunjukkan bahwa kesehatannya semakin memburuk.
"Setelah seminggu berlayar, Pangeran berkata kepada Knoerle bahwa ia sudah ikhlas untuk mati," ungkap Peter Carey.
Namun, Pangeran belum mencapai ambang kematian. Setelah demamnya mereda, Pangeran menunjukkan minat pada segala hal yang dilihatnya di kapal. Ia tertarik pada ilmu bumi kawasan Indonesia timur.
Pangeran bertanya tentang jarak antara Ambon dan Manado, dan apakah Manado berada jauh dari Makassar atau "Tanah Bugis." Ia juga ingin melihat peta "Makassar" yang pernah ia lihat dari dek depan agar lebih memahami bentuk pulau Sulawesi.
Meskipun Knoerle berkeberatan dan menyatakan bahwa satu-satunya peta di kapal hanya untuk keperluan navigasi, Pangeran tetap gigih bertanya. Ia ingin mengetahui tentang rute laut ke Jeddah, apakah pantai-pantai Sulawesi dapat dilayari, dan bagaimana penduduknya.
Sederet pertanyaan yang kadang menarik, kadang menjengkelkan, ini menguji kesabaran Knoerle.
Pada pukul dua dinihari, tanggal 14 Mei, ketika badai hebat melanda gunung Muria di Jepara menuju laut, Diponegoro tiba-tiba keluar dari kamarnya dan memanggil Knoerle agar segera memerintahkan komandan kapal korvet untuk segera menjatuhkan jangkar!
"Hari berikutnya, Pangeran terus mengomel dengan permintaan-permintaan yang tak wajar, padahal laut begitu tenang namun hari terasa sangat panas, kami berada dekat pantai Lasem." Pemandangan garis pantai Laut Jawa itu ternyata sangat mengiris hati Pangeran.
Namun, di samping itu, Pangeran tetap mengirimkan nasi dari meja makannya setiap hari untuk Knoerle, dan mengundangnya untuk sarapan pagi bersama dengan menu kentang, sambal, teh hitam, dan biskuit kapal sambil duduk-duduk di tikar jerami yang luas.
Pangeran juga tertarik dengan gambar-gambar dalam buku-buku dan almanak yang dipinjamkan oleh Knoerle, sembari menikmati anggur Sungai Rhine (Jerman) dan anggur dari Tanjung Harapan yang diberikan oleh para pengawal sebagai "obat" untuk mengatasi keinginannya yang mendadak ingin mencicipi anggur.
Dalam pertemuan-pertemuan ini, yang Knoerle sebut sebagai "percakapan di atas tikar jerami," Pangeran menceritakan banyak hal, termasuk tentang sejarah dan mitologi Jawa serta sejarah Eropa terkini.
Pangeran juga mengajukan pertanyaan tentang kebiasaan di Eropa untuk mengasingkan seorang pemimpin yang kalah perang ke sebuah pulau terpencil dan memutus hubungan dengan semua keluarganya.
Knoerle menjawab dengan mengutip contoh Napoleon (1769-1821), yang seperti Pangeran, berusia 44 tahun ketika pertama kali diasingkan (Maret 1814), tetapi diasingkan dengan cara yang lebih baik sehingga tidak meninggalkan kenangan yang menyakitkan.
Diponegoro juga mengenang masa lalu, terutama pengalamannya selama Perang Jawa, yang didorong oleh pertanyaan-pertanyaan Knoerle, karena catatan harian tersebut memang merupakan laporan intelijen untuk gubernur jenderal (Knoerle 1835:135-80).
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait