Dari pernikahan tersebut, Samaratungga memiliki putri yang bernama Pramodawardhani (Sri Kahulunan atau Sri Sanjiwana) dan Balaputradewa. Nama Pramodhawardani inilah yang akhirnya dinikahkan dengan Mpu Manuku, atau yang dikenal dengan Rakai Pikatan, ketika Samaratungga berkuasa.
Konon pernikahan ini memiliki arti sebab keduanya memiliki agama yang berbeda, yakni Hindu dan Buddha. Mpu Manuku sendiri akhirnya mendapatkan beberapa daerah bebas pajak, dan diangkat sebagai penguasa di daerah Pikatan, karena jasanya turut merawat Candi Bhumisambhara.
Samaratungga selama menjabat sebagai raja Medang Mataram, telah menerapkan kebijakan, yakni mengangkat Mpu Manuku yang semula menjabat sebagai pimpinan daerah Patapan (Rakai Patapan) sebagai pimpinan daerah Pikatan (Rakai Pikatan). Selain itu, Samaratungga juga memberikan anugerah kepada Mpu Manuku berupa tanah bebas pajak.
Kebijakan itu diambil oleh Samaratungga, karena Mpu Manuku telah berjasa besar merawat Candi Bhumisambhara. Bahkan Samaratungga juga lebih memprioritaskan pengembangan budaya dan agama Buddha, dibandingkan ekspansi wilayah kekuasaan seperti pendahulunya. Tak heran bila Candi Bhumisambhara, berkembang jadi pusat pengembangan agama Buddha.
Warisan candi dari Samaratungga itu kini telah direkonstruksi oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, pada 1812 M. Candi Bhumisambhara yang merupakan nama aslinya, kini dikenal dengan Borobudur, atau Candi Jinaya dan Sambharabhudara, nama lainnya.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait