Para pemuda pun marah dan dengan bekal senjata rusak dan aneka alat bela diri pun menyebar ke seluruh wilayah kota. mereka bergerak membabi buta mencari warga Jepang. Begitu menemuinya di jalan-jalan, warga Jepang banyak mendapat siksaan pentungan, ditelanjangi dan diminta jalan kaki dengan celana kolor, hingga ada yang dibunuh dan diculik.
Pada 14 Oktober siang hingga sore kondisi sudah terasa mencekam akibat ngamuknya pemuda. Mendapati keadaan tersebut Mayor Kido pada Minggu (14/10/1945) memerintahkan pasukan turun ke Semarang dari beberapa jalur yang menghubungkan dari arah selatan. Banyak peristiwa pertempuran di hari minggu malam tersebut.
Dengan senjata dan amunisi seadanya, pemuda Semarang melawan Jepang. Peristiwa penting yang terjadi kala itu adalah gugurnya dr Kariyadi yang merupakan kepala Laboratorium RS Purusara (sekarang RSUP Dr Kariadi). Dokter Kariyadi gugur ditembak Jepang di sekitar Jalan Pandanaran, lepas Magrib saat hendak memeriksa tandon air minum Wungkal yang dikabarkan telah diracun Jepang.
Sejak saat itulah pertempuran heroik berkecamuk. Beberapa tokoh penting yang memiliki peranan menggalang pemuda dan rakyat untuk bertempur antara lain Budancho Moenadi. Pria asal Pati yaang selanjutnya menjabat Gubernur Jateng ini pernah membawa dan mengumpulkan pasukan dari beberapa daerah seperti Pati, Demak, Kudus dan Purwodadi untuk merencanakan Serangan Umum Semarang untuk menyerang Jepang dari basis pertahanan di daerah Kaligawe.
Namun sayangnya ketika hendak menyerang dari Kampung Batik, Jepang telah mengetahui tanda-tanda serangan dan terlebih dahulu membakar Kampung Batik.
Meski kampung Batik dibakar, tak menyurutkan nyali pasukan pimpinan Moenadi. Pertempuran sengit pun terjadi di sekitar kampung Batik, Jalan Patimurra hingga Jalan dr Cipto. Dalam Pertempuran 5 Hari juga muncul pemuda mantan PETA bernama Sayuto dan Warno Keling menginisiasi regu Jagal Jepang.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait