Sejarah Dugderan di Semarang: Tradisi Perpaduan Budaya Jawa, Tionghoa dan Arab jelang Ramadhan

Ahmad Antoni
Tradisi Dugderan digelar setiap menjelang datangnya bulan suci Ramadan di Kota Semarang. (foto Ahmad Antoni)

SEMARANG, iNewsSemarang.id Sejarah Dugderan di Semarang menarik diulas. Dugderan merupakan tradisi yang digelar tiap menjelang datangnya bulan suci Ramadan.

Sejarah tradisi Dugderan merupakan cerminan perpaduan budaya tiga etnis yang mendominasi masyarakat Semarang yakni etnis Jawa, Tionghoa dan Arab. 

Nama “Dugderan” berasal dari kata “dugder” yang berasal dari kata “dug” (bunyi bedug yang ditabuh) dan “der” (bunyi tembakan meriam). Bunyi “dug” dan “der” sebagai pertanda akan datangnya awal Ramadan. 

Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber, sejarah dugderan diperkirakan mulai berlangsung sejak tahun 1881 ketika Semarang dipimpin oleh Bupati RMTA Purbaningrat. 

Munculnya tradisi Dugderan ini dilatarbelakangi adanya perbedaan pendapat dalam masyarakat terkait awal dimulainya puasa pada bulan suci Ramadan. 

Atas dasar itulah muncul kesepakatan untuk menyamakan persepsi masyarakat dalam menentukan awal Ramadan yakni dengan menabuh beduk di Masjid Agung Kauman dan meriam di halaman kabupaten dan dibunyikan masing-masing tiga kali dan dilanjutkan dengan pengumuman awal puasa di masjid.

Editor : Ahmad Antoni

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network