Inisiatif adaptasi krisis iklim yang dilakukan oleh warga seharusnya dijadikan pengetahuan berharga untuk mengelola kawasan pesisir, khususnya di bagian utara Jawa Tengah.
Penyelesaian krisis iklim seperti banjir rob tidak melulu harus berupa infrastruktur raksasa seperti tanggul laut. Pengetahuan warga yang sudah berpuluh-puluh tahun hidup di pesisir dan melakukan adaptasi tanpa putus perlu menjadi pertimbangan penting bagi negara untuk mengatur dan membangun pesisir yang memberikan masa depan lebih baik bagi warga dan lingkungannya.
Deretan rumah panggung warga Desa Timbulsloko terbuat dari kayu dan bambu berdiri di atas air laut. Warga hidup dengan tempat tinggal dan lingkungan yang kurang layak huni. Dulunya kehidupan warga desa tidak se malang saat ini.
Desa Timbulsloko aslinya merupakan lahan pertanian dan perkebunan yang subur. Mayoritas warganya saat itu berprofesi sebagai petani hingga nelayan.
Namun abrasi yang berlangsung sejak tahun 1995, memaksa warga beralih profesi sebagai penambak ikan. Sayangnya, berkembangnya budidaya tambak ikan juga diikuti penebangan mangrove besar-besaran. Hal ini jadi salah satu penyebab abrasi makin memburuk dan banjir rob menelan dataran pesisir setiap hari.
Warga Desa Timbulsloko tentunya tidak ingin tinggal di tempat yang terancam tenggelam oleh air laut. Sebagian dari mereka yang berkecukupan memilih untuk meninggalkan desa.
Sayangnya, tidak semua warga seberuntung itu. Mereka yang masih menetap terjepit masalah perekonomian sehingga tidak memiliki modal untuk pindah ke tempat yang lebih layak huni.
Mereka yang bertahan harus meninggikan rumah agar tidak terendam air laut. Akses jalan yang sudah terputus dibangun ulang oleh warga menggunakan kayu dan bambu. Mereka juga menggunakan sampan untuk pergi ke daratan.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait