Tuduhan Dalang Pembunuhan Sultan Hamengkubuwono IV oleh Pangeran Diponegoro 

Avirista Midaada
Kemataian Sultan Hamengkubuwono IV pada 16 Desember 1822, sempat menyeret tuduhan Pangeran Diponegoro jadi pembunuhnya. Foto: Ilustrasi

KEMATIAN Sultan Hamengkubuwono IV pada 16 Desember 1822, sempat menyeret tuduhan Pangeran Diponegoro jadi pembunuhnya. Sebab saat itu sang sultan kala itu masih berusia 18 tahun ketika wafat, dan meninggal seusai makan.

Peristiwa ini menggemparkan seluruh kesultanan. Saling tuduh antar kelompok bangsawan mewarnainya. Tuduhan Pangeran Diponegoro sebagai dalang pembunuhan Sultan Hamengkubuwono IV pun menyeruak. Tapi pada peristiwa ini tidak pernah diketahui siapa sebenarnya sosok pembunuh sultan.

Kematian Sultan Hamengkubuwono IV membawa prahara di istana. Bahkan Pemerintah Hindia Belanda pun dibuat kesulitan mencari siapa sosok penggantinya. Apalagi saat itu persaingan kaum bangsawan di Kesultanan Yogyakarta cukup tinggi.

Dikisahkan dari buku "Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia", muncul calon utama Pangeran Paku Alam, yang pernah menjadi wali sultan, yaitu Sultan Jarot. Akan tetapi, beberapa bangsawan menolak, karena tatkala menjadi wali sultan ia banyak berbuat kesalahan. 

Residen Yogyakarta Baron de Salis meminta Pangeran Diponegoro sebagai penggantinya, tetapi ia menolak. Diponegoro juga keberatan kalau pemerintah menunjuk R.M. Menol yang masih berusia dua tahun sebagai sultan pengganti ayahnya. Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Diponegoro. Pertama, R.M. Menol masih kanak-kanak, belum memenuhi syarat sebagai sultan.

Menurut Diponegoro, seorang sultan adalah juga senopati (Pemimpin Tertinggi Angkatan Perang) dan Sayidin Panatagama. Kedua, dari keturunan. Ibu R.M. Menol adalah Ratu Kencono anak Sumodiningrat (Danurejo IV). Danurejo adalah keturunan Surapati, yaitu seorang budak yang berasal dari Bali yang pernah diangkat sebagai luitenant oleh VOC. 

Sesudah peristiwa Kartasura, pada Februari 1686 ia memberontak terhadap kerajaan Mataram dan menguasai wilayah Monconogoro. Timur sampai 10 tahun. Di kalangan bangsawan Yogya masalah asal usul keturunan, dan pengkhianatan terhadap sultan dan kerajaan merupakan nilai prinsip yang dipegang teguh secara turun-temurun. 

Perkawinan antara sultan dan keturunan budak dianggap sebagai perkawinan pinggir. Ratu Kencono di mata para bangsawan Yogyakarta berstatus perempuan pinggir. Nilai prinsip ini tidak pernah diperhatikan secara baik oleh pemerintahan Inggris maupun Belanda.

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network