SEMARANG, iNewsSemaraag.id - Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap fakta mengejutkan dalam sidang lanjutan dugaan korupsi mantan Wali Kota Hevearita G. Rahayu (Mbak Ita) dengan agenda tanggapan atas pembelaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Semarang.
Jaksa menilai tindakan Mbak Ita yang menerbitkan surat edaran tentang larangan adanya pungutan di lingkungan Pemerintah Kota Semarang merupakan upaya untuk lepas dari jeratan hukum.
"Surat edaran Wali Kota Semarang tertanggal 19 Januari 2024 diterbitkan setelah dimulainya penyidikan oleh KPK tentang adanya dugaan korupsi di lingkungan pemerintah kota tersebut," kata Jaksa Penuntut Umum Amir Nurdiyanto dikutip dari Antara, Selasa (12/8/2025).
Menurutnya, terdakwa juga telah mengembalikan uang tambahan operasional yang bersumber dari iuran kebersamaan pegawai Bapenda Kota Semarang karena sudah ada penyelidikan oleh KPK.
Seharusnya, lanjut dia, surat edaran tentang larangan melakukan pungutan dilakukan sejak terdakwa dilantik sebagai Wali Kota Semarang.
Berkaitan dengan penerimaan tambahan operasional yang berasal dari iuran kebersamaan, jaksa menyebut total uang yang diterima terdakwa sebesar Rp1,5 miliar.
Ia menjelaskan terdakwa menerima langsung uang masing-masing Rp300 juta sebanyak 4 kali yang diserahkan langsung oleh Kepala Bapenda Kota Semarang Indriyasari.
Pemberian terakhir untuk triwulan IV 2024 sebesar Rp300 juta, kata dia, belum sempat diserahkan kepada terdakwa.
"Terdakwa meminta Kepala Bapenda menunda penyerahan yang karena sedang ada penyelidikan oleh KPK," katanya dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Gatot Sarwadi itu.
Terhadap pemberian tambahan operasional untuk Mbak Ita, jaksa menyebut Alwin Basri, suami mantan wali kota itu juga memiliki niat jahat untuk ikut mendapat jatah.
"Niat jahat terdakwa Alwin Basri yang ingin ikut dapat bagian sehingga berani meminta bagian tambahan uang operasional," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Mantan Wali Kota Semarang Hevearita G. Rahayu dituntut 6 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi di pemerintah kota tersebut pada kurun waktu 2022 hingga 2024.
Penuntut umum juga meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik atau sebagai pejabat politik selama 2 tahun sejak selesai menjalani masa pemidanaan. Mbak Ita disebut menerima suap serta gratifikasi yang totalnya mencapai Rp1,883 miliar.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait