SOLO, iNewsSemarang.id – Mendung menyelimuti langit Surakarta (Solo) di pagi awal November 2025. Angin lembut yang biasanya membawa aroma bunga dari Taman Kamandungan kini seperti ikut berduka.
Kabar berpulangnya Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono XIII (PB XIII) Ngabdurrakhman Sayyidin Panatagama Khalifatullah menjadi berita yang menyayat dunia kebudayaan Nusantara.
Di usia ke-77 tahun, sang raja yang menjadi benteng terakhir marwah budaya Jawa itu telah menuntaskan pengabdiannya di bumi. Ia pergi meninggalkan warisan bukan berupa harta, melainkan nilai, teladan, dan kesetiaan pada akar budaya bangsanya.
Raja yang Lembut dan Terbuka
Bagi masyarakat Surakarta, Sinuhun PB XIII bukan hanya simbol takhta, melainkan teladan moral. Di masa kepemimpinannya, Keraton Kasunanan Surakarta (Keraton Solo) tidak lagi sekadar menjadi peninggalan sejarah, tetapi juga pusat hidup kebudayaan yang terus berdenyut.
Dalam catatan Forum Budaya Mataram (FBM) dan Dewan Pemerhati dan Penyelamat Seni Budaya Indonesia (DPPSBI), Sinuhun dikenal sebagai pribadi yang lembut, bersahaja, dan terbuka terhadap perubahan zaman. Ketua Umum FBM, BRM Dr. Kusuma Putra, S.H., M.H., mengenangnya sebagai sosok raja yang memahami pentingnya dialog antara adat dan modernitas.
“Beliau adalah pemimpin yang mengayomi, tak hanya menjaga tradisi, tetapi juga membuka pintu Keraton bagi kolaborasi dan pendidikan budaya,” kata Kusuma.
Keraton di bawah kepemimpinannya tidak tertutup seperti dahulu kala. Beragam kegiatan adat seperti Kirab Malam 1 Sura, Grebeg Sekaten, Sedekah Mahesa Lawung, dan Sesaji Papat Kiblat Lima Pancer tidak hanya dilestarikan, tetapi juga diperkenalkan kepada publik secara lebih luas.
Sinuhun memahami bahwa pelestarian budaya bukan sekadar menjaga upacara, melainkan memastikan bahwa nilai-nilai di baliknya tetap hidup di hati generasi penerus. Oleh karena itu, beliau membuka Keraton untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah, komunitas budaya, hingga lembaga pendidikan.
Menyatukan Tradisi dan Zaman
Langkah Sinuhun PB XIII menandai babak baru bagi Keraton Surakarta. Ia menyadari bahwa di tengah derasnya arus globalisasi, budaya Jawa tidak bisa hanya dijaga dari dalam tembok istana. Budaya harus hadir di tengah masyarakat dikenali, dicintai, lalu diwarisi.
Salah satu wujud keterbukaannya adalah penyelenggaraan kirab prajurit setiap akhir pekan di depan Kamandungan. Tradisi itu menjadi tontonan sekaligus tuntunan bagi masyarakat yang ingin menyaksikan kedisiplinan, harmoni, dan estetika prajurit Keraton.
“Melalui kegiatan seperti itu, Keraton kembali hidup di tengah rakyatnya,” ujar Kusuma. “Sinuhun PB XIII mengembalikan makna Keraton sebagai sumber keteladanan dan kebanggaan budaya,” ujarnya.
Tidak hanya itu, PB XIII juga memberikan akses bagi kalangan media untuk meliput Tingalan Jumenengan Dalem sebuah perayaan yang dahulu sangat tertutup. Di tangan beliau, Keraton tidak kehilangan wibawanya, namun juga tidak terasing dari dunia luar.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait
