Warisan yang Tak Terhapus Waktu
Sinuhun Paku Buwono XIII lahir pada 28 Juni 1948 dari pasangan Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan KRAy Pradapaningrum. Sejak muda, telah dididik dengan disiplin adat dan ilmu kepemimpinan Jawa.
Sebagai penerus garis keturunan Raja-Raja Mataram Islam, beliau memaknai jabatan raja bukan sebagai kekuasaan, tetapi amanah. Ia memahami bahwa kebesaran sejati tidak diukur dari singgasana, melainkan dari keteguhan menjaga martabat budaya dan kehormatan leluhur.
Wafatnya Sinuhun PB XIII pada 2 November 2025 menjadi penanda berakhirnya satu babak sejarah. Namun di sisi lain, ia meninggalkan nyala yang tak padam nyala kesetiaan terhadap adat, keluhuran, dan rasa cinta tanah air.
Menatap Masa Depan dengan Warisan Leluhur
Kini, setelah Sinuhun berpulang, pertanyaan yang menggema di kalangan budayawan adalah: siapakah yang akan meneruskan jejaknya? Bagi FBM dan DPPSBI, siapapun penerusnya nanti, ia harus memiliki roh yang sama: nguri-uri budaya dengan kesungguhan, bukan hanya simbol.
“Keraton adalah pusat nilai. Jika nilainya padam, maka cahaya kebangsaan pun akan redup,” ungkap Kusuma menutup perbincangan.
Warisan Sinuhun PB XIII bukan sekadar bangunan, bukan pula sekadar tradisi. Ia meninggalkan sesuatu yang lebih abadi kesadaran bahwa menjadi Jawa adalah menjadi manusia yang halus budi, kuat prinsip, dan penuh welas asih.
Dari Takhta Menuju Keabadian
Dalam keheningan malam di halaman Keraton, denting gamelan seakan menyampaikan pesan terakhir sang raja: bahwa hidup adalah perjalanan menjaga harmoni. Sinuhun Paku Buwono XIII telah menunaikan tugasnya sebagai penjaga tatanan, pelestari rasa, dan penerus cahaya leluhur.
Ia telah pergi, tetapi semangatnya tetap hidup di hati mereka yang masih percaya bahwa budaya adalah napas bangsa. Dari Surakarta, cahaya kebijaksanaan itu akan terus menyala  menerangi jalan generasi penerus untuk menjaga jati diri Nusantara.
           
          
          
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait
