JAKARTA, iNewsSemarang.id – Pegungkapan dugaan kasus korupsi di PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) yang merugikan negara sebesar Rp8,8 triliun berawal dari laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kasus korupsi Garuda Indonesia ini terkait pengadaan pesawat jenis CRJ-1000 dan ATR-72 dengan jumlah 23 unit. Jumlah ini diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kepala BPKP, Muhammad Yusuf Ateh menyebut nilai pengadaan atas 23 unit pesawat sangat tinggi atau mahal.
"Ini pengadaannya yang nilainya terlalu tinggi. Sehingga pada saat pengoperasiannya itu, nilai biaya operasionalnya itu lebih tinggi daripada pendapatannya. Ini yang kami hitung mulai dari tahun 2011 sampai dengan 2021," ungkap Ateh saat konferensi pers di kawasan Kejaksaan Agung, dikutip Rabu (29/6/2022).
Kejaksaan Agung (Kejagung) pun menetapkan dua tersangka baru atas tindak pidana korupsi ini. Keduanya adalah mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar dan SS selaku Direktur PT Mugi Rekso Abadi.
Adapun proses pengungkapan kasus korupsi pengadaan pesawat CRJ 1000 dan ATR 72-600 berdasarkan laporan BPKP.
Pada 19 Januari 2022, Kejagung mulai melakukan penyidikan korupsi pengadaan Garuda Indonesia Tahun 2011-2021. Langkah ini berdasarkan surat perintah penyidikan Jaksa Agung Nomor Prin-09/Fd.2/01/2022 tanggal 21 Januari 2022.
Lalu, 21 Januari 2022, Kejagung meminta BPKP untuk melaksanakan audit penghitungan kerugian keuangan negara melalui Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor R-111/F.2/Fd.2/01/2022 tanggal 21 Januari 2022 perihal Permintaan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara.
BPKP pun melakukan ekspose dugaan korupsi pada 14 Februari 2022. Pelaksanaan ekspose dilakukan oleh Deputi Bidang Investigasi BPKP dengan Tim Penyidik Jampidsus Kejagung. Ekspose direncanakan pada 8 Februari 2022, namun baru terealisasi pada 14 Februari 2022.
Pada 21 Februari 2022, pelaksanaan ekspose lanjutan dengan kesimpulan bahwa terdapat indikasi penyimpangan dan kerugian keuangan negara akibat pengadaan pesawat Garuda Indonesia sejak 2011-2021, dengan ruang lingkup pengadaan ATR 72-600 da CRJ-1000. Besaran nilai kerugian keuangan negara akan dihitung pada saat pelaksanaan Audit PKKN oleh BPKP.
Pada 24 Februari 2022, Direktur Investigasi II menugaskan tim untuk melaksanakan audit penghitungan kerugian keuangan negara melalui Surat Tugas Direktur Investigasi II Nomor ST-52/D502/1/2022. Pelaksanaan penugasan direncanakan selama 30 hari kerja mulai 1 Maret 2022 - 12 April 2022.
Kemudian, pada 1 Maret 2022, tim mulai melaksanakan penugasan Audit PKKN. 12 Maret 2022, perpanjangan pertama jangka waktu penugasan audit melalui Surat Direktur Investigasi II Nomor PE.03/ST-71/D502/1/2022. Dalam surat tugas disebutkan perpanjangan waktu penugasan dilaksanakan selama 25 hari kerja mulai 18 April 2022 - 2 Juni 2022.
Sementara 27 Mei 2022, perpanjangan kedua jangka waktu penugasan audit melalui Surat Direktur Investigasi II Nomor PE.03/ST-87/D502/1/2022. Dalam surat tugas disebutkan perpanjangan waktu penugasan dilaksanakan selama 15 hari kerja mulai 3 Juni 2022 - 23 Juni 2022. 6 Juni 2022, tim melaksanakan ekspose akhir internal.
Lalu, pada 8 Juni 2022, tim melaporkan hasil audit kepada Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi. Dua hari kemudian atau pada 10 Juni 2022, bertempat di Gedung Bundar, tim audit didampingi Direktur Investigasi II melakukan ekspose akhir dengan Tim Penyidik beserta Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung.
Pada 13 Juni 2022, Tim Audit menerbitkan laporan hasil audit penghitungan kerugian negara atas tindak pidana korupsi ini. Hasil audit menyimpulkan bahwa terdapat penyimpangan dalam pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR-72.
Di mana, proses perencanaan pengadaan pesawat dilakukan secara tidak memadai dan tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Feasibility Study yang dibuat tidak layak untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan pengadaan pesawat. Proses penetapan kriteria dan pelaksanaan evaluasi pengadaan pesawat CRJ-1000 tidak konsisten yang diarahkan untuk memenangkan manufaktur tertentu.
Proses pengadaan pesawat ATR 72-600 sampai dengan penandatanganan perjanjian dilakukan mendahului perubahan RKAP. Proses pengambilalihan pengoperasian dan pembiayaan pesawat ATR 72-600 dari PT Citilink Indonesia dilakukan tanpa dilakukan kajian yang memadai.
Dampak yang terjadi atas penyimpangan tersebut menimbulkan kerugian negara berupa rugi atau defisit atas pengoperasian pesawat yang timbul akibat adanya pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 yang seharusnya tidak dilakukan senilai USD609.814.504,00.
Terakhir, pada 20 Juni 2022, BPKP pun menyerahkan laporan hasil audit penghitungan kerugian negara atas korupsi pengadaan pesawat kepada Kejaksaan Agung.
Editor : Sulhanudin Attar