Penulis: Uswatun Marhamah, Kaprodi PAI STAI Walisembilan Semarang, Mahasiswa S3 prodi BK Pascasarjana UNNES
Saat ini pada generasi muda muncul kecenderungan hedonisme dan kecanduan menonton drama-drama korea, tak heran mereka juga cenderung berkiblat pada Korea. Menurut penulis yang berprofesi sebagai akademisi sekaligus praktisi Bimbingan Konseling, fenomena tersebut sangat mengkhawatirkan. Maka diperlukan kearifan lokal menjadi bentuk inovasi dalam melaksanakan Bimbingan di sekolah, penulis menawarkan konsep Indigenous Konseling Studi Pemikiran Kearifan Lokal Ki Ageng Suryomentaram dalam Kawruh Jiwa.
Selama ini proses bimbingan konseling lebih banyak menerapkan teori-teori yang diadopsi dari budaya yang berbeda dengan konselor maupun konseli. Sehingga seperti memaksa masuk pada budaya asing. Sementara nilai-nilai lokal yang mungkin tidak kalah atau bahkan mungkin lebih baik, kurang mendapatkan perhatian dalam proses memberikan bimbingan dan konseling. Padahal di Indonesia dan khususnya di Jawa memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang sangat bermanfaat diterapkan dalam bimbingan konseling.
Bimbingan dan Konseling merupakan proses interaksi antara konselor dan konseli baik dengan langsung maupun tidak langsung dalam rangka untuk membantu konseli supaya bisa melakukan pengembangan potensi dirinya maupun memecahkan masalahnya secara sistematis, objektif, logis dan berkelanjutan. Bimbingan Konseling juga terprogram yang dijalankan oleh konselor untuk memberikan fasilitas perkembangan konseli untuk meraih kemandirian dalam kehidupannya.
Bimbingan dilaksanakan untuk membantu peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Dalam menjalankan tugasnya seorang konselor sekolah harus mampu melaksanakan peranan yang berbeda-beda dari situasi ke situasi lainnya. Pada situasi tertentu kadang-kadang seorang konselor harus berperan sebagai seorang teman dan pada situasi berikutnya berperan sebagai pendengar yang baik atau sebagai pengobar/pembangkit semangat, atau peran-peranan lain yang dituntut oleh klien dalam proses konseling.
Winkel (2012) berpendapat tentang peranan konselor di sekolah yaitu: Konselor sekolah dituntut mempunyai peranan sebagai orang kepercayaan konseli/siswa, sebagai teman bagi konseli/ siswa, bahkan konselor sekolah pun dituntut agar mampu berperan sebagai orang tua bagi klien/ siswa.
Oleh karena itu untuk menjalankan tugasnya, maka menurut Dewa Ketut Sukardi (2010) seorang konselor harus memenuhi persyaratan tertentu, diantaranya persyaratan pendidikan formal, kepribadian, latihan atau pengalaman khusus. Selain itu, masih banyak anggapan bahwa peranan konselor sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah (Prayitno dan Erman Amti, 2009).
Meskipun demikian konselor harus selalu mempertahankan sikap profesional tanpa mengganggu keharmonisan hubungan antara konselor dengan personil sekolah lainnya guna terlaksananya program bimbingan dan konseling yang telah direncanakan, juga menjalin hubungan kepada semua siswa baik siswa-siswa yang nyaris tidak mempunyai masalah pribadi, sosial, belajar, ataupun karir, maupun kepada siswa-siswa yang nyaris tidak mempunyai masalah guna membantu dan memfasilitasi siswa dalam menyelesaikan kesulitan atau masalah.
Penerapan konseling mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu.
Sebagai bagian terintegrasi dari pendidikan di Indonesia, bimbingan dan konseling diharapkan mengoptimalkan peran pendidikan dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia terutama dalam membentuk benteng-benteng kepribadian yang mampu menjadi filter bagi setiap insan Indonesia yang akan berinteraksi dengan budaya lain di dunia. Hall (2006) menjelaskan bahwa konselor bekerja dengan orang dewasa dalam transisi dapat mengintegrasikan prinsip- prinsip pembangunan karakter, menciptakan kerangka untuk dialog tentang hubungan antara identitas klien karakter dan perjuangan pribadi mereka dan keberhasilan. Strategi intervensi yang diusulkan berfokus pada pengembangan identitas karakter untuk pengambilan keputusan yang lebih efektif dan hidup otentik. Mengacu pendapat tersebut menjadi penting untuk memerankan konseling sebagai salah satu cara pembentukan karakter secara utuh manusia Indonesia.
Sebagai bangsa yang kaya akan budaya selayaknya Indonesia juga memperkuat berbagai lini dengan ciri khas karakter keIndonesiaan. Indonesia memiliki kekayaan dalam hal kearifan budaya yang setiap nilai-nilainya bisa diangkat sebagai basis filosofis dan nilai acuan dalam kegiatan konseling yang berciri ke-Indonesia-an. Paling tidak jika mengacu pada suku dan budaya antara Jawa, Sunda, Bali, Betawi, Bugis, Melayu, Banjar, Dayak, Asmat dan masih banyak yang lainnya memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang tentu menjadi acuan kebenaran dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Apa lagi jika sudah mengacu pada agama, kepercayaan dan berbagai aliran spiritual dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, nilai-nilai luhur dari setiap ajaran tokoh pendidikan di Indonesia juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja karena bisa jadi dalam setiap langkah konseling juga mengacu pada pendapat atau filosofi kehidupan seseorang seperti Ki Hajar Dewantoro, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, dan lain-lain. Sebagai bahan perbandingan, kerendahan hati dalam budaya, sebagai bagian dari orientasi konselor, dapat membantu memfasilitasi aliansi kerja yang kuat dengan klien di berbagai latar belakang budaya (DeBlaere et al., 2019).
Kompetensi multikultural konselor juga merupakan bagai penting dalam memberikan layanan konseling (Greene, 2018). Pertimbangan akan adanya konflik etik dan nilai budaya menjadi pertimbangan pengembangan konseling berkearifan lokal (Delpechitre & Baker, 2017) untuk dikembangkan di Indonesia. Seperti yang dilakukan di China untuk mengembangkan konseling berkearifan lokal dengan nilai-nilai luhur konfusianisme (Matsumoto & Hwang, 2013). Ini cukup mendorong pentingnya pengembangan konseling untuk konteks ke Indonesiaan.
Para pengembang konseling berbasis budaya menyatakan bahwa, sekuat apapun keterampilan konseling yang dikuasai oleh konselor tidak akan efektif jika empati budaya tidak muncul dalam proses konseling (Pederson, Lonner, Draguns, Trimble, & Scharron-Del Rio, 2017). Kompetensi multikultural harus dimiliki oleh konselor dalam memberikan layanan kepada konseli untuk mengurangi resistensi dalam upaya pengubahan sikap, cara berpikir dan tingkah laku konseli (Sue & Sue, 2016). Dalam konteks Indonesia dengan diversitas masyarakat yang tinggi, pilihan paling rasional adalah mengembangkan konseling sekaligus keterampilan konseling yang memuat unsur-unsur budaya terutama yang kaya nilai sebagai jawaban atas tantangan tersebut.
Budaya jawa adalah salah satu budaya yang paling dikenal oleh masyarakat luar negeri. Dikatakan demikian karena mayoritas pemimpin Indonesia yang sering berinteraksi dengan dunia luar berasal dari suku jawa sehingga orang Indonesia sangat Identik dengan Jawa. Nilai budaya Jawa menjadi pedoman bagi masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan, namun demikian nilai budaya Jawa juga berisi nilai-nilai luhur yang perlu dimiliki oleh setiap warga negara misalnya sikap tepa seliro (toleransi), bisa rumangsa (empati), sepi ing pamrih rame ing gawe (tolong menolong tanpa pamrih), tata krama (sopan santun dalam berbicara dan berperilaku), wani ngalah luhur wekasane (mampu untuk mengalah), manjing ajur-ajer (mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi sekitar). Beberapa sikap tersebut merupakan sikap yang positif yang perlu dimiliki oleh setiap siswa dalam rangka menyiapkan mereka untuk hidup ditengah-tengah masyarakat yang beragam budaya (Maulana, 2014). Nilai-nilai tersebut merupakan sumber nilai yang telah lama dimiliki oleh masyarakat, namun terkadang terlupakan dalam proses konseling.
Dalam kajian lain, Riyanta dan Tadjri (2015) menyusun model bimbingan kelompok berbasis budaya “NiBuYo” yang selama ini berkembang pada masyarakat Yogyakarta. Tujuan utamanya adalah proses pemberian bantuan oleh pemimpin kelompok kepada para anggota kelompok melalui suasana kelompok yang berlandaskan dan diwarnai nilai-nilai budaya Yogyakarta, baik falsafah hidup maupun unggah-ungguh, yang memungkinkan para anggota kelompok mengalami peningkatan sikap dan perilaku yang dibutuhkan dalam hubungan interpersonal yang sehat. Selain budaya secara umum, analisis produk budaya juga dilakukan untuk menggali kearifan lokal yang diangkat dalam konseling.
Penulis melakukan kajian ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram sebagai dasar konseling. Dalam kajian tersebut ditemukan nilai-nilai luhur sebagai tujuan konseling yaitu 1) Menciptakan manusia yang mampu melepaskan atribut dunianya disebut ‘manusia tanpa ciri” (manusia tanpo tengger); 2) Mengikis kesombongan manusia sehingga mampu menghilangkan rasa “aku” kramadangsanya.; 3)Memiliki pemahaman bahwa kebahagian dan kesusahan itu datang silih berganti yaitu prinsip “mulur mungkret”. 4) Meningkatkan keyakinan bahwa manusia adalah keinginan yang menyatu dalam hidup, maka manusia akan mencapai bahagia jika mampu menghilangkan rasa egois yang berpadu dengan kesombongan (pambegan) dan keirian (meri); 5) Hanya dengan “nrima ing pandum” atau menerima apa adanya lah manusia akan bisa bahagia; 6) Agar manusia bisa menerima hukum alam dan tidak perlu berusaha mengubah hukum alam tersebut, karena akan sia-sia; 7) Agar individu bisa menerima kenyataan dengan senang hati. Dalam ilmu tasawuf disebut “ridha”.
Dalam nilai budaya Jawa juga diajarkan sikap tepa seliro (toleransi), bisa rumangsa (empati), sepi ing pamrih rame ing gawe (tolong menolong tanpa pamrih), tata krama (sopan santun dalam berbicara dan berperilaku), wani ngalah luhur wekasane (mampu untuk mengalah), manjing ajur-ajer (mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi sekitar). Selain itu dalam berinteraksi masyarakat jawa juga terkenal memiliki unggah-ungguh dan subosito dalam bergaul dengan manusia lain. Bahkan dalam ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram orang Jawa harus mampu nerima ing pandum, mampu mulur mungkret (luwes dalam segala hal) dan menghindari tetengger negatif.
Dalam budaya Karia (Suku Muna Sulawesi Tenggara) diajarkan lima nilai dasar yaitu kafoluku (pemahaman diri dan tingkah laku), kabhansule (pemahaman peran), kalempagi (pertumbuhan dan perkembangan), katandano wite (rendah hati dan amanah), dan linda (aktualisasi diri).
Tri Hita Karana (Bali) juga mengajarkan keseimbangan untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup antara hubungan manusia dengan tuhan (Parahyangan), manusia dengan manusia (Pawongan) dan hubungan manusia dengan alam (Palemahan). Semboyan Ing Ngarsa Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handdayani adalah pedoman penting yang sering terlupakan oleh pendidik di Indonesia. Keharusan menunjukkan kinerja profesional terkadang menutup memori mengenai keharusan seorang guru menjadi tauladan, penyemabnag dan individu bermanfaat. Oleh karena itu diperlukan komitmen, kesungguhan dan kepercayaan diri dari insan pendidikan utamanya konselor dalam menanamkan nilai-nilai kearifan budaya pada siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Artikel ini sangat sederhana, tetapi semoga dapat menginspirasi para praktisi dan akademisi Bimbingan Konseling untuk lebih mengapresiasi pemikiran-pemikiran local sebagai local wisdom. Bagi para akademisi mungkin bisa lebih dikembangkan secara operasional bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai kearifan lokal ini dalam praktek bimbingan konseling di sekolah. Semoga karya ini bermanfaat dan berkah.
Editor : Miftahul Arief