Psikolog klinik, Eric Ryden menjelaskan efek neurobiologis patah hati bisa sedemikian rupa, sehingga disamakan dengan rasa sakit fisik, sebagaimana dibuktikan gejala fisik, misalnya nyeri dada dan serangan panik, merasa terpukul. “Patah hati tampaknya melibatkan mekanisme saraf yang sama dengan rasa sakit fisik,” tutur dia.
Melansir dari Mayo Clinic Neurology Board Review. Selama patah hati, sistem saraf simpatik dan parasimpatis yang biasanya mengimbangi satu sama lain menjadi aktif. Sistem saraf ini bertanggung jawab atas respon perlawanan tubuh, mempercepat detak jantung, dan pernapasan. Sementara sistem saraf parasimpatis bertanggung jawab atas tubuh saat istirahat.
Lee menyebut, pelepasan hormon kala patah hati, mengaktifkan dua bagian sistem saraf ini. Otak dan jantung yang merespon menjadi bingung karena menerima pesan yang campur aduk.
“Hal ini bisa mengakibatkan gangguan pada aktivitas listrik jantung, dengan variabilitas detak jantung yang lebih rendah” jelasnya.
Acap kali rendahnya variabilitas jantung manusia, akan menunjukkkan gejala seperti kelelahan, kecemasan, depresi, dan kurang tidur. Variabilitas detak jantung dapat digunakan untuk menilai keadaan klinis pada pasien depresi, berdasarkan makalah pada Frontiers in Physchiatry tahun 2019.
(MG/ Shinta)
Editor : Maulana Salman