JAKARTA, iNewsSemarang.id - Ketua Bidang Kerukunan Antar-Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Yusnar Yusuf Rangkuti angkat bicara terkait polemik Lebaran Ketupat yang mencuat di media sosial. Kiai Yusnar menegaskan bahwa Lebaran Ketupat tidak bertentangan dengan Islam.
Lebaran Ketupat merupakan budaya dan kearifan lokal yang mewarnai sukacita Idulfitri di daerah. Sebagian pihak mempersoalkan Lebaran Ketupat yang banyak digelar di beberapa daerah karena tidak pernah diajarkan Nabi Muhammad SAW.
"Mengadakan Lebaran Ketupat itu tidak bertentangan dengan Islam. Hanya orang yang tidak suka saja yang bilang Lebaran Ketupat itu bertentangan dengan syariat. Saya bukan orang Jawa, tapi saya suka dengan Lebaran Ketupat. Budaya yang seperti ini justru perlu disuarakan bahwa memang tidak menyalahi peraturan agama Islam," kata KH Yusnar Yusuf Rangkuti di Jakarta, Jumat (19/4/2024).
Seperti halnya Lebaran Ketupat yang menjadi kebiasaan saat Lebaran, mudik atau pulang kampung juga sebenarnya berasal dari kebiasaan masyarakat Indonesia saat libur panjang. Mudik sejatinya produk budaya, bukan syariat agama, tapi pelaksanaannya dilakukan oleh seluruh umat Islam di Indonesia karena dinilai tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Menurut Kiai Yusnar, mudik menjadi bertentangan dengan syariat Islam jika dalam praktiknya, si pemudik secara sengaja berbuat hal yang membahayakan bagi keselamatan dirinya.
"Kita perlu bangun pemahaman terhadap masyarakat, kebiasaan seperti Lebaran Ketupat itu sama halnya dengan mudik, tidak ada perkara agama yang dilanggar. Tapi seandainya ada yang berangkat mudik dengan ramai-ramai naik ke atas bus, kemudian jatuh, itu bunuh diri namanya. Jika seperti itu barulah dilarang agama," katanya.
Ia berpendapat kebiasaan mudik di masa Lebaran yang sudah meluas di masyarakat Indonesia akan lebih baik lagi jika dilembagakan atau difasilitasi oleh pemerintah. Seperti melalui program perbaikan jalan di jalur mudik, sehingga orang bisa nyaman kembali ke kampung halamannya.
Menurutnya, kebiasaan yang sarat dengan kearifan lokal seperti mudik dan Lebaran Ketupat perlu mendapat apresiasi, karena bisa memberikan efek positif terhadap kerukunan masyarakat Indonesia.
"Saya kira berbagai kearifan lokal yang ada sudah menjadi kebiasaan dan itu akhirnya menjadi budaya bagi orang-orang yang ada di Indonesia. Hal ini termasuk mudik, yang berarti mengunjungi orang tua dan keluarga di kampung halamannya masing-masing," ujarnya.
Menyikapi pro dan kontra terhadap kebiasaan masyarakat pasca-Idulfitri seperti Lebaran Ketupat, KH Yusnar justru beranggapan pemerintah perlu melembagakan penyelenggaraannya. Dengan kebijakan secara resmi, negara juga memiliki partisipasi aktif dalam kerukunan masyarakat dan kelestarian tradisi serta budaya.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengurus Besar Al Washliyah ini berharap agar segala bentuk kearifan lokal yang menyemarakkan Idulfitri bisa berkontribusi dalam membangun moderasi beragama yang lebih baik lagi. Turut menjaga dan melestarikan nilai dan kearifan lokal dapat menghindarkan orang atau kelompok masyarakat dari pengaruh intoleransi dan radikalisme.
Pihak yang cenderung menolak praktik budaya dan kearifan lokal seringkali belum memahami agama dengan komprehensif, dan memandang sempit segala perkara.
"Sebab ketika budaya saat lebaran itu dibangun, intoleransi itu tidak akan terjadi. Misalnya saja ketika melakukan mudik, ketika para pemudik singgah di beberapa masjid, ada yang warga sekitar yang memberikan minum. Warga lainnya bahkan ada yang mempersilakan pemudik yang mampir untuk beristirahat di rumah mereka. Ini baru dari kegiatan mudik saja, belum yang lainnya," imbuhnya.
Menjadi hal yang wajar jika praktik beragama di Indonesia diwarnai dengan beragam budaya dan adat istiadatnya. Sebagai sebuah negara yang menaungi begitu banyak suku, bangsa, agama, hingga kepercayaan, perbedaan praktik kehidupan adalah suatu keniscayaan dan tidak mungkin dibendung oleh siapa pun.
"Indonesia itu negara yang luar biasa. Menurut saya, negara kita ini sangat menarik untuk dikaji oleh dunia. Bayangkan saja, jazirah Arab itu bahasanya, kulitnya, dan datarannya sama, namun bisa pecah jadi sekitar 19 negara. Indonesia yang punya lebih banyak perbedaan bahasa, kulit, tempat yang beragam, tapi tetap bisa bersatu," kata KH Yusnar. (Arni Sulistiyowati)
Editor : Maulana Salman