SEMARANG, iNewsSemarang.id - Warga kompleks eks Karyawan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) yang tinggal di Jalan Yogya, Jalan Gundih, Jalan Veteran, Jalan Kariadi dan Jalan Kedungjati, Kelurahan Randusari, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, menghadapi ancaman pengusiran dari PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Sejumlah warga telah menerima somasi dari PT KAI untuk segera mengosongkan rumah yang mereka tempati.
Situasi ini menarik perhatian berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan anggota DPR RI Komisi 2 dari PDIP, Riyanta.
Eko Haryanto, perwakilan warga, mengungkapkan bahwa PT KAI melalui pengacaranya telah melayangkan somasi kepada warga untuk segera mengosongkan rumah.
Sebagai bentuk tekanan, CCTV dipasang di depan rumah yang disomasi untuk memantau aktivitas 24 jam.
"Rumah di Jalan Yogja Nomor 1 adalah salah satu yang disomasi," ujar Eko.
Eko menegaskan bahwa warga telah bekerja sama dengan berbagai NGO anti korupsi, NGO anti mafia tanah, anggota Komisi 2 DPR RI, dan advokat untuk melawan tindakan PT KAI yang dianggap tidak adil.
"Tidak ada kata lain selain kami lawan," tegas Eko.
Novel Al Bakri, pengacara warga pensiunan PT KAI, mendukung penuh perlawanan warga terhadap tindakan PT KAI yang dinilai tidak sesuai aturan, terutama dalam pengelolaan cagar budaya.
Menurut Novel, PT KAI telah merusak warisan budaya Kota Semarang dengan mengalihfungsikan aset berharga menjadi pertokoan komersial dan pompa bensin tanpa hak yang sah.
"Mereka mengubah warisan heritage menjadi pertokoan komersial dan pompa bensin," tegas Novel.
Ia juga menyebutkan bahwa masyarakat yang telah tinggal selama puluhan tahun seharusnya memiliki kepastian hukum atas kepemilikan rumah mereka.
"PT KAI sudah tidak memiliki hak pakai, dan mereka memindahkan aset kepada yayasan dan pengusaha untuk tujuan komersial," jelasnya.
Novel menambahkan bahwa jika PT KAI bertindak manusiawi dengan memberikan ganti rugi layak dan membangun perumahan baru bagi warga terdampak, masyarakat tidak akan keberatan.
Namun, yang terjadi adalah masyarakat hanya diberi pesangon sebesar 25 juta rupiah, sementara mereka diduga menjual aset tersebut dengan harga miliaran rupiah.
"Ke mana larinya uang itu? Apakah ke negara atau ke pihak lain?" tanyanya.
Ia menyoroti bahwa PT KAI menghadapi perlawanan sengit di Kota Semarang, berbeda dengan daerah lain.
Novel berharap pemerintahan yang baru di bawah Presiden terpilih Prabowo dan Gibran dapat membangun Indonesia berdasarkan aturan yang ada yaitu kembali ke UUD 1945 serta dapat menegakkan aturan dan mengembalikan aset yang merupakan hak masyarakat.
"Apakah ahli waris dilibatkan dalam pengelolaan lahan? Bukan semuanya diserahkan kepada oligarki. Yang semestinya menjadi orang kaya malah jadi miskin, sementara mereka yang kaya makin kaya. Inilah sistem yang rusak," tegasnya.
Anggota Komisi 2 DPR RI, Riyanta, yang hadir di Semarang, memberikan penjelasan terkait status tanah yang ditempati oleh warga di Kelurahan Randusari.
Menurut Riyanta, para penghuni menguasai tanah tersebut dengan itikad baik karena orang tua mereka adalah karyawan PJKA.
"Sejak 24 September 1980, semua tanah yang belum dikonversi menjadi tanah negara bebas. Tanah bekas hak barat yang tidak dikonversi otomatis menjadi tanah negara bebas," jelas Ketua Umum Ormas Gerakan Jalan Lurus (GJL) tersebut.
Ia menegaskan bahwa siapa pun boleh menguasai tanah tersebut, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, desa, perorangan, badan hukum, atau lembaga TNI dan Polri.
Riyanta menjelaskan bahwa warga dapat membuat surat pernyataan penguasaan tanah yang diketahui Kepala Desa atau Lurah dan Camat setempat.
Setelah itu, warga perlu mengajukan permohonan pengukuran tanah ke BPN.
Jika BPN menolak permohonan tersebut, Riyanta mengingatkan warga untuk mengikuti prosedur yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.
"Dengan langkah ini, diharapkan warga Randusari dapat memperoleh kepastian hukum atas tanah yang mereka tempati," tutup Riyanta.
Editor : Maulana Salman