2. Surah Ibrāhīm ayat 25
تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢبِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
(pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat (QS. Ibrahim: 25).
Tafsir Tahlili Surah Ibrāhīm ayat 24:
Dalam ayat ini digambarkan bahwa pohon yang baik itu selalu memberikan buahnya pada setiap manusia, dengan seizin Tuhannya. Adapun proses pertumbuhan tanaman diperlukan berbagai unsur hara yang cukup banyak macamnya.
Menurut jumlah yang diperlukannya, unsur hara ini dibedakan menjadi unsur hara makro yang diperlukan dalam jumlah banyak, dan unsur hara mikro yang diperlukan dalam jumlah sedikit, tetapi keberadaannya mutlak diperlukan. Untuk sampai pada terjadinya buah, akar harus dapat memasok semua kebutuhan unsur hara ini dalam jumlah yang cukup dan seimbang.
Ada beberapa unsur hara yang apabila dipasok melebihi kebutuhannya akan menjadi racun bagi tanaman dan dapat menyebabkan kematian bagi tanaman, misalnya besi untuk tanaman padi.
Sebab itu, manusia yang mengambil manfaat dari pohon itu hendaklah bersyukur kepada Allah karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya melalui seseorang adalah karunia dan rahmat dari Allah swt.
Demikian pula halnya kata-kata baik yang kita ucapkan kepada orang lain, misalnya dalam memberikan ilmu pengetahuan yang berguna, manfaatnya akan didapat oleh orang banyak.
Lesson learn dari kajian ayat ini, setidaknya ada tiga pesan penting yang perlu diperhatikan bersama. Pertama, Dalam lingkup pendidikan formal, setiap peserta didik yang memperoleh ilmu pengetahuan dan hikmah dari seorang guru sepatutnya bersyukur kepada Allah karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan hikmah yang telah diperolehnya melalui seseorang adalah karunia dan rahmat dari Allah swt. Peserta didik mengamalkan ilmu yang diperoleh sebagai wujud syukur itu dalam ranah spiritual sosial dan multi skills. Dalam bahasa psikologi pendidikan islami peserta didik memiliki keseimbangan cerdas spiritual ilahiah, emosional, sosial dan intelektual.
Kedua, dalam pendidikan informal, ibu dan bapak sebagai pendidik utama dan pertama dalam pendidikan keluarga sudah semestinya senantiasa memberi teladan dan mempergunakan kata-kata yang baik dan santun serta menjauhi ucapan-ucapan kotor dan kasar, karena ucapan-ucapan itu akan ditiru oleh anak-anak mereka.
Ketiga, dalam konteks pendidikan non formal pada kehidupan masyarakat lokal nasional dan global, kalimat thoyyibah, kata-kata yang baik wajib diterapkan untuk menjaga suasana sejuk dan damai, lebih-lebih sangat relevan di era digital dan media sosial saat ini.
Wallahu a'lam.
Dr. H. Ismail, M.Ag/ Dosen Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang.
Editor : Miftahul Arief