PENETAPAN Hari Bakti Pendamping Desa pada tanggal 7 Oktober sebagai wujud apresiasi pemerintah kepada para tenaga pendamping profesional di bawah Kemendes PDTT yang telah mendampingi pembangunan di desa selama enam tahun terakhir. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor 110 Tahun 2022, tentang Hari Desa.
Sejak diluncurkan tahun 2016 silam, profesi pendamping desa yang berstatus sebagai tenaga kontrak yang setiap tahun dilakukan evaluasi, tentunya telah mengalami perjalanan baik itu sebagai keberhasilan maupun tantangan yang masih perlu dipecahkan.
Sebagai pengawal UU Desa, para tenaga pendamping profesional (TPP) tersebut diharapkan dapat mengantarkan desa menemukan jati dirinya. Mengenali jati diri ini penting untuk menentukan arah pembangunan desa yang didukung oleh Dana Desa yang rata-rata jumlahnya mendekati Rp1 miliar tergantung jumlah penduduk dan luas wilayahnya.
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa telah mengubah paradigma pemerintahan desa yang lebih mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik dalam setiap tahapan pembangunan. Mulai dari perencanaan, realisasi kegiatan hingga pelaporan hasil pekerjaan; para pendamping profesional ini wajib mengawal dengan melakukan fasilitasi dan pendampingan sesuai level dan posisi masing-masing. Hal ini menjadi tugas pekerjaan yang tidak mudah karena tiap desa tentunya memiliki karasteristik dan budaya masing-masing.
Pada tahun-tahun pertama penerapan UU Desa dan turunanya, tak jarang para pendamping mengalami intimidasi dari para oknum Pemdes sisa Orde Baru yang masih menerapkan model lama. Pada tahun kedua, gap permasalahan terjadi dalam tataran teknis. Tuntutan penguasaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam pemenuhan dokumen dan pelaporan menjadi kendala karena sebagian aparatur pemdes masih diduduki generasi tua yang belum menguasai perangkat yang diperlukan.
Waktu terus berjalan, peningkatan kapasitas tiap tahunnya dianggarkan dan sampailah kini di mana desa telah mengalami banyak perubahan. Aparatur Pemdes kini telah diisi tenaga muda yang melek TIK. Pemahaman tentang tata kelola Pemdes pun mengalami peningkatan. Dampaknya, masyarakat lebih terberdayakan dalam kegiatan dan bahkan ikut terlibat mengawasi jalannya pemerintahan di desa. Lembaga-lembaga desa pun berfungsi.
Berdasarkan data Indeks Desa Membangun (IDM) yang bisa diakses oleh siapapun melalui aplikasi, banyak desa yang awalnya bersetatus berkembang, telah meningkat menjadi maju dan mandiri. Keadaan demikian tak berarti desa tak membutuhkan lagi pendampingan. Seiring meningkatnya kapasitas Pemdes dan para pelaku desa, justru tuntutan dan tugas pendampingan oleh TPP juga mengalami peningkatan.
Optimalisasi BUMDes untuk mengangkat perekonomian masyarakat desa dalam praktiknya butuh pendampingan yang berkelanjutan. Ditambah arah baru percepatan pencapaian 18 tujuan SDGs Desa, desa masih perlu pendampingan. Kompleksitas masalah di desa bisa mengakibatkan kemandekan, bahkan kemunduran. Oleh karena itu, pendampingan tetap diperlukan dengan tuntuan yang lebih berat untuk sampai kepada tujuan dari SDGs Desa.
Di lain pihak, Kemendes dan PDTT melalui jajaranya terus berusaha meningkatkan kualitas TPP di semua level. TPP diperintahkan untuk terus meningkatkan kapasitas dan kualitas pekerjannya untuk mempercepat tercapainya 18 tujuan SDGs Desa.
Editor : Sulhanudin Attar
Artikel Terkait