SEMARANG, iNewsSemarang.id - Sanjoto (92 tahun) masih ingat betul pengalaman berada di medan perang melawan tentara Belanda. Sanjoto adalah pengawal Panglima Besar Jenderal Soedirman saat perang gerilya pada 1948.
Pada masa tersebut, mantan pejuang yang kini tinggal di Kota Semarang ini bertugas di medan gerilya Surakarta-Wonogiri, yang bermarkas di Jumapolo. Tugasnya adalah sebagai pengaman rute gerilya dari satuan polisi tentara (PT), cikal bakal CPM. Saat itu Sanjoto berpangkat Letnan Muda.
Selama berperang, ia merasakan langsung baik ketika sukses dalam pertempuran, maupun saat-saat melihat para pejuang dari Tanah Air banyak yang gugur.
Tugas-tugas Sanjoto ketika itu adalah mendeteksi wilayah yang ada aktivitas tentara Belanda dan mana yang aman dari pantauan tentara musuh. Tujuannya untuk mencarikan rute aman bagi pergerakan gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman.
"Saat itu tentara Belanda ada di mana-mana, bahkan juga menyebar mata-mata. Oleh karena itu kami melakukan pengamatan dengan cermat dan mengenali setiap wilayah yang benar-benar aman," kata Sanjoto.
Pernah suatu kali dalam pengintaian mendapat kabar akan melintas pasukan Belanda dalam konvoi kendaraan lapis baja dan truk.
“Saat itu kami berada di Desa Mento, sekitaran Wonogiri-Sukoharjo. Di sana saya ingat ada belokan di tengah kebun tebu. Saya dan teman-teman memasang landsman (ranjau) tepat di belokan atau tikungan,” kenang Sanjoto, Rabu (9/11/2022).
“Karena sudah beranjak malam, timbunan ranjau tak terlihat mereka yang datang dengan konvoi panser dan truk. Panser di depan lolos dari ranjau, tapi truk yang di belakangnya meledak saat melindas ranjau yang dipasang," ceritanya.
Dia mengaku terperangah menyaksikan ledakan yang sempat melemparkan truk dan memorak-porandakan penumpangnya. “Saya melongo melihat api yang membumbung menerangi kebun tebu yang semula temaram. Panser yang ada di depan dan belakang truk menyempatkan melarikan diri," ujar Sanjoto.
Atas kejadian tersebut, Sanjoto membagi tiga regu pasukannya. Sanjoto di regu 2 yang akan melakukan pengecekan kondisi pasukan musuh. Sementara regu 1 dan 3 memberikan tembakan memancing reaksi musuh.
Regu 2 pun akhirnya maju mengecek situasi dan menemukan banyak tentara Gurkha gugur karena rajau.
"Tubuh mereka banyak yang hancur, akhirnya senjata kami sita dan gunakan untuk bekal berjuang," ujarnya.
Perang bagi Sanjoto menjadikan dirinya sosok yang beringas. Meski bertentangan dengan rasa manusiawi, tapi kadang harus dilakukan daripada menjadi korban dan kehilangan kehormatan.
Pengalaman pilu juga dirasakan. Sanjoto mengingat betapa sadisnya angkatan udara Belanda dengan pesawat cocor merahnya memberondong memberondong tembakan saat dia menyeberangkan pengungsi dan pejuang di Sungai Bengawan Solo.
“Saat itu banyak yang gugur dan air sungai itu seketika jadi merah darah," kenangnya.
Dalam momentum Hari Pahlawan 2022 ini, Sanjoto mengaku bersyukur karena perang sudah berlalu. Indonesia sudah maju dan pembangunan berjalan.
"Saya berharap jangan ada perang, kita jaga perdamaian. Jangan mau diadu domba untuk perang. Karena perang akan menyengsarakan semua pihak," ujarnya. (mg arif)
Editor : Maulana Salman
Artikel Terkait