KENDAL,iNewsSemarang.id- Sekda Kendal Sugiono digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena dituding mengabaikan kasus KDRT yang dilaporkan seorang PNS Pemkab Kendal berinisial IP. Wanita tersebut melaporkan suaminya, seorang perangkat desa.
Kasus gugatan ini telah memasuki sidang pertama pada hari Selasa 6 Desember 2022 dengan agenda pemeriksaan awal terhadap Sekda Kendal, Sugiono yang dianggap telah membuat keputusan merugikan bagi kaum perempuan yang menjadi korban KDRT.
Pada sidang yang berlangsung tertutup, Sekda Kendal dan diwakilkan Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Kendal, Wahyu Hidayat.
Seusai sidang, tim kuasa hukum IP, Nasrul Dongoran, mengatakan korban kekerasan [KDRT] mengajukan persetujuan cerai kepada tergugat [Sekda Kenda], tapi malah diminta persetujuan cerai kepada suami, yang notabene pelaku kekerasan.
“Ini kan tidak benar. Apalagi di Perda Kendal Tahun 2017 sudah diatur tentang penghapusan kekerasan berbasis gender,” ujar Nasrul seusai sidang dikutip Rabu (7/12/2022).
Menurut Nasrul, berdasar Perda seharusnya Pemkab Kendal melindungi korban kekerasan dan bukan sebaliknya. Oleh karenanya, pihaknya pun menyayangkan keputusan Sekda Kendal yang meminta korban untuk meminta persetujuan suami atau pelaku lebih dulu dalam mengajukan perceraian.
“Itu [meminta persetujuan cerai] yang kita sayangkan. Klien kita sudah menjadi korban kekerasan, sudah ada hasil pemeriksaan dari psikolog yang menyatakan dia menjadi korban kekerasan dari suaminya, tidak bisa tidur, dan tidak merasa nyaman,” ucapnya.
“Ini masih tidak cukup dan alasannya katanya [Sekda Kendal] tidak masuk akal sehat. Bagaimana orang yang bertengkar terus menerus, menjadi korban kekerasan ini tidak masuk akal? Ini yang sedang kami uji di PTUN, agar kemudian pejabat ini lebih memperhatikan perempuan sebagai korban kekerasan,” tegas dia.
Sementara itu, Sekda Kendal, Sugiono menegaskan bahwa sebuah perceraian merupakan sesuatu hal yang sebisa mungkin untuk dihambat dan direm.
"Yang akan bercerai itu sudah kita undang. Dan intinya mereka tidak ingin cerai kok. Kenapa kita harus memberikan surat izin,” kata Sugiono.
Pihaknya mengaku sengaja tidak memberikan izin cerai kepada anak buahnya tersebut karena meyakini bahwa keduanya sebenarnya tidak ingin bercerai.
"Kita juga sudah melakukan upaya mediasi, cuma yang datang kan pengacaranya. Dan pengacaranya tidak tahu persis apa yang terjadi pada diri orang itu," ungkapnya.
"Jadi itu kan suaminya adalah perangkat desa dengan satu anak. Sementara istrinya itu ASN," imbuhnya.
Sang istri ingin mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya. Sebagai seorang ASN tentu harus memperoleh izin lebih dahulu dari atasannya sebelum mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan Agama.
"Untuk mengeluarkan izin itu saya tidak tega. Tidak tega terhadap anak dan suaminya. Karena saya melihat masih ada upaya dari mereka berdua untuk memperbaiki rumah tangganya. Kalau saya keluarkan surat izin kan saya salah. Dan hati nurani saya gak akan tega," terang dia.
Sugiono mempersilakan kasus ini dibawa ke PTUN jika rasa ketidaktegaannya terhadap anak dan suaminya dianggap salah.
"Biarkan nanti PTUN yang akan mengadili dan yang menyatakan saya salah atau tidak," katanya.
Dirinya juga membeberkan dalam kasus ini ada kesenjangan sosial antara sang suami dan sang istri. Sang suami dalam aktivitas sehari-hari hanya mengendarai motor. Sementara sang istri mengendarai mobil.
Menurutnya, alasan kesenjangan sosial tak seharusnya dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan perceraian. Apalagi sang suami masih ingin mempertahankan mati-matian rumah tangganya.
Terkait kasus KDRT, pihaknya malah mempertanyakan apakah semua itu sudah dibuktikan. Pihaknya sudah membuktikan dan bertanya kepada sang suaminya terkait kasus KDRT tersebut. (mg arif)
Editor : Maulana Salman
Artikel Terkait