Begitu pun dengan rumah sakit, pihaknya menjalin kerjasama dengan RSUD Wongsonegoro, RS Kariadi, RS Pantiwiloso, dan RSUD Tugurejo untuk penanganan kasus kekerasan.
"Kami dengan Dinkes berkomunikasi terkait layanan karena anggaran dari pemkot jatuhnya di Dinkes untuk layanan korban. Misalnya, ada kasus kekerasan seksual, bisa dilakukan visum, penanganan korban, gratis ditanggung pemkot melalui dinkes. Dengan RS swasta biasanya dengan sistem klaim," jelasnya.
Dia memastikan, seluruh pelayanan untuk warga yang mengalami kasus kekerasan gratis. Begitu menerima laporan kekerasan, pihaknya melakukan asesmen dan menawarkan kepada korban bantuan apa saja yang dibutuhkan.
"Mereka menginginkan apa. Kalau butuh psikologis saja kami jadwalkan berapa kali sampai korban bisa lepas dari rasa trauma. Itu jangka panjang. Kalau kasus dibawa ke hukum, kami informasikan plus minusnya layanan yang diterima serta hak dan kewajiban korban. Kami pendampingan sampai ke pengadilan," ujarnya.
Pasca mendapatkan sertifikat ISO, pihaknya berkomitmen meningkatkan pelayanan dan membuka jejaring lebih luas. Akses pelayanan baik kesehatan, hukum, maupun psikologi diharapkan lebih mudah bagi para korban kekerasan.
Selain itu, dia ingin mempermudah layanan pelaporan. Pasalnya, hingga kini, belum seluruhnya masyarakat paham cara melaporkan kasus kekerasan.
"Kami ada yang laporan langsung, ada yang lewat online, ada ada yang lewat kecamatan. Kami juga punya Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA), mereka mendapat tugas menerima laporan pertama kali," ujarnya.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait