SEMARANG, iNewsSemarang.id - Pembangunan ratusan lapak Pedagang Kaki Lima (PKL) di sepanjang Jalan Raya Hadi Soebeno, yang membentang dari seberang RSUD Mijen hingga seberang Koramil Mijen, Kecamatan Mijen, Kota Semarang terus menuai protes dari warga setempat.
Proyek pembangunan ini diinisiasi oleh sebuah koperasi yang memanfaatkan lahan Perhutani KPH Kendal, namun menuai kontroversi karena dianggap tidak memiliki izin yang jelas.
Meski sudah mendapatkan Surat Peringatan (SP) dan somasi dari Satpol PP, pembangunan lapak tersebut tetap berlangsung.
Salah satu warga Kecamatan Mijen, Nurul (44 tahun), mengungkapkan kekecewaannya terhadap kelanjutan pembangunan lapak tak berizin yang dianggap menyepelekan somasi bongkar dari Satpol PP.
"Sudah dikasih SP, tapi tetap saja lapaknya dibangun kembali. SP pertama pun, garis polisinya malah dilepas oleh oknum yang tidak saya ketahui. Ini malah sudah seminggu lapaknya dibangun lagi," ungkap Nurul kepada Wartawan, Jumat (23/8/2024).
Sebagai pengguna jalan yang sering melintas di kawasan tersebut, Nurul merasa khawatir dengan dampak yang akan ditimbulkan nantinya jika lapak ini benar-benar dibangun permanen.
Menurutnya, dampak yang paling dirasakan adalah arus lalu lintas di wilayah tersebut akan mengalami kemacetan parah, terutama pada jam-jam sibuk.
"Macetnya sudah luar biasa, apalagi kalau nanti jadi dibangun sentra kuliner, makin parah macetnya. Anak saya setiap hari harus lewat situ saat berangkat dan pulang sekolah, dan selalu terjebak macet. Kalau sampai jadi, pasti pengguna jalan bakal emosi," ucapnya.
Selain masalah kemacetan, Nurul juga mempertanyakan legalitas pembangunan lapak yang kabarnya belum mengantongi izin resmi.
"Saya sempat lihat videonya di TikTok. Katanya setelah SP ketiga, lapak-lapak ini akan dibongkar, tapi kok sampai sekarang malah dibangun lagi? Satpol PP-nya ini gimana, tegas atau tidak?" keluhnya.
Menurut Nurul, tanah yang digunakan adalah lahan Perhutani yang seharusnya tidak diperjualbelikan.
Selain itu, ia juga cemas tentang potensi bencana, seperti kebakaran atau pohon tumbang, yang dapat terjadi sewaktu-waktu di area tersebut.
"Kalau sampai ada insiden, siapa yang bertanggung jawab?" tanyanya.
Tidak hanya masalah izin, praktik jual beli lahan di kawasan itu juga menimbulkan keresahan.
Nurul mengungkapkan bahwa harga lapak bervariasi, mulai dari Rp30 juta hingga Rp65 juta, angka yang dianggap sangat tinggi untuk lahan yang sebenarnya tidak layak diperjualbelikan.
Editor : Maulana Salman
Artikel Terkait